Tubuh manusia telah menjadi tari, begitu dia berjalan menghadapi dunia luar yang adalah peta bergerak bagi berbagai simpul kepentingan dan konflik. Sudah sejak lama manusia begitu tergoda pada tubuhnya sendiri.
Melalui berbagai
gelombang peradaban, godaan itu menggiring manusia mencari bayangan sakral
serta kepuasan lewat tubuhnya sendiri. Tubuh manusia adalah medan perang dengan
nilai yang bergerak didalamnya, mulai dari soal kegagahan dan kecantikan, ikon,
ras, ideologi dan agama.
Tubuh manusia tidak
hanya untuk berdiri dan berjalan, tetapi juga bisa dan sering gemetar. Tubuh
yang bergetar ini melahirkan beribu ragam gerak dari ujung kepala hingga ujung
kaki. Di Sulawesi Tengah tubuh yang gemetar ataupun kesurupan menjadi sumber
dari lahirnya gerak-gerak tari. Tubuh yang bergetar melalui ritus ataupun
upacara-upacara adat melambangkan dinamisasi dan keindahan serta kekuatan. Maka
akan ditemui eksotika tubuh.
Balia dan Tubuh Tari
Di Sulawesi Tengah,
banyak koreografer yang selalu memasukan unsur balia ke dalam karya tari
mereka, namun beberapa diantaranya pencapaian yang dilakukan hanya pada spirit
dari Balia itu. Namun, konsep ketubuhan Balia tidak akan ditemukan secara
spesifik pada karya-karya mereka. Pola gerak dari Balia yang lazim mereka
masukan sebagai unsur tari hanyalah bagian permukaan saja.
Membahas tentang
Balia, tidak bisa setengah-setengah karena memiliki keterkaitan antar satu
dengan yang lainnya. Balia dan tari pun tidak bisa dipisahkan, akan menjadi tidak
menarik.
Balia mengutamakan
estetika dan eksotika tubuh dalam setiap gerakannya. Tubuh cenderung menjadi
"tubuh mitos", yang membiarkan dirinya terus berkembang melalui
tema-tema mitologi setempat.
Balia ialah tantang
dia (Bali = tantang, ia/iya = dia), yang artinya melawan setan yang telah
membawa penyakit dalam tubuh manusia. Balia dipandang sebagai prajurit
kesehatan yang mampu untuk memberantas atau menyembuhkan penyakit baik itu
penyakit berat maupun ringan melalui upacara tertentu. Peserta atau orang-orang
yang terlibat dalam upacara (pesakitan) disebut memperata adalah proses awal
untuk menyiapkan diri dan menerima kehadiran makhluk-makhluk halus kedalam
tubuhnya.
Masuk atau tidaknya
makhluk-makhluk tersebut ditentukan oleh irama pukulan gimba (gendang), lalove
(seruling) yang mengiringi jalannya upacara ini. Karena itu, agar semua peserta
balia bisa kesurupan maka irama gimba, lalove dan gong itu harus berubah-ubah
dan bersemangat hingga nantinya peserta balia tersebut akan melakukan gerak-gerak
tarian yang kasar, cepat dan tak beraturan dalam kondisi kesurupan. Pemimpin
upacara ini ialah seorang dukun yang biasa disebut Tina Nu Balia
Upacara Balia ini
terdiri atas 3 macam dengan tingkatan prosesi yang berbeda-beda :
Balia Bone, merupakan tingkatan
terendah dalam rangkaian upacara balia yang diibaratkan sebagai prajurit
kesehatan yang besar dan banyak seperti tumpukan pasir (bone) yang sanggup
memadamkan api. Dalam upacara ini tidak terlalu banyak memerlukan peralatan
upacara adat dan prosesi penyembuhannya pun tidak memakan waktu yang lama.
Balia ini biasanya diperuntukkan untuk kalangan bawah atau yang penyakitnya
tidak terlalu berat serta tidak merisaukan masyarakat setempat. Pemimpin
upacaranya pun hanya terdiri atas satu orang saja.
Balia Jinja, diidentikkan dengan
gerakan atau posisi melingkar (round dance) yang melibatkan para pengunjung
atau orang-orang yang sedang menyaksikan upacara balia tersebut dibarengi
dengan nyanyian dari si pesakitan atau penderita. Walaupun yang memimpin upacara
ini hanya satu orang saja, namun yang terlibat dalam prosesi upacara ini sudah
lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan balia bone.
Balia Tampilangi, diartikan sebagai
pasukan yang bergerak turun secara cepat dari kayangan. Balia ini merupakan tingkatan
tertinggi dari upacara keseluruhan upacara Balia, dianggap paling sakral dan
bernilai magis karena didalamnya termuat keseluruhan gerak dari balia bone dan
balia jinja serta.Balia Tampilangi, memiliki tahapan khusus dalam proses
penyembuhan. Tahapan tersebut dibagi atas dua yang bisa dilaksanakan bersamaan
secara bergantian atau bisa pula dilaksanakan salah satunya saja, yaitu :
Moraro, adalah salah satu bagian dari upacara Balia Tampilangi,
suatu upacara adat penyembuhan bagi masyarakat Kaili dengan cara menombak
tumbal (Noraro). Dalam rangkaian Upacara Adat Moraro ini dibagi dalam 9 tahapan
yaitu : Pamulana (awal/pembuka), Mendopi (menghibur pesakitan), Nosive
(memercikan air kepada pesakitan), Notaro (mengehenatk parang untuk mengusir
penyakit dari tubuh), Noparemba (pemanggilan roh), Neronde (menyambut roh),
Noraro (menombak tumbal), Norumuta (membuat lingkaran), Mouramo (mengembalikan
penyakit). Namun sebelum memasuki proses penyembuhan dalam 9 tahapandiatas,
maka dilaksanakan terlebih dahulu upcara Moragi yaitu salah satu bagian dari
upacara Moraro, dimana para gadis-gadis membawakan beras kuning, hitam, merah
dan hijau yang dibentuk seperti bintang, pelangi maupun tombak yang kemudian
diletakan dihadapan si pesakitan dan nantinya sando pun bisa menentukan
penyakit apakah yang diderita oleh si pesakitan tersebut. Beras-beras tersebut
memiliki makna sebagai permohonan petunjuk kepada To Manuru atau penguasa bumi
dan langit. Setelah sando memilih beras mana yang dipilih, maka gadis-gadis
tersebut mulai menari dengan memakai kipas yang diringi oleh gendang dan
lalove. Pemimpin (sando) dalam upacara ini disebut Bayasa yang berfungsi
sebagai pengobatan dan penyembuhan orang sakit. Bayasa atau bisa diistilahkan
sebagai gender ketiga (transgender), dimana kaum lelaki berperilaku dan
berpakaian seperti wanita. Upacara adat Moragi ini untuk menentukan penyakit
apa yang diderita oleh pesakitan dan yang berperan penting disini adalah Bayasa
tersebut dimana merekalah yang dapat mengetahui penyakit apa yang sedang
diderita oleh pesakitan dan dapat menyembuhkannya. Bayasa ini terdiri atas 6
orang yang menari bergerak lincah mengelilingi si pesakitan tersebut.
Salonde, merupakan salah satu bagian dari upacara Balia Tampilangi
dan kedua jenis balia lainnya. Salonde bagian yang selalu terikat dan tak
pernah lepas dari upacara ini karena dengan adanya Salonde ini maka prosesi
penyembuhan akan menjadilebih sakral. Salonde berasal dari bahasa Kaili Kuno
yang artinya ragam tari-tarian. Disebut ragam tari-tarian karena didalamnya
termuat begitu banyak unsur gerak yang ritmis, lincah, dinamis dan memiliki
makna yang besar. Gerak-gerak tersebut memiliki nilai estetis yang sangat
menarik, dibagi dalam 7 (tujuh) bagian yang tidak boleh ditinggalkan dalam
upacara balia namun boleh ditarikan secara terpisah ; Kabiondo (petikan sendu),
Kancara (melambai), Saramapede (melenting), Sarondayo (lincah), Torodae-dae
(berputar), Tambilugi (rata), Tutupendo (penutup).
Kepuasan Tubuh dalam Eksplorasi Balia
Ada begitu banyak
gerak-gerak yang tercipta dari upacara ini dan tubuh menjadi sumber utamanya.
Reproduksi sikap
tubuh ini, terikat pada teknik, karena tidak mudah untuk membongkar atau
mengubah pola tatanan gerak didalam Balia tersebut, dimana dasar gerak
melingkar, berpegangan tangan serta menyatukan nafas untuk membawa tubuh ke
tingkat ritual yang mendalam dengan kekuatan fisik sang penari tidak bisa
dilakukan hanya dengan proses sebentar saja. Dibutuhkan intensitas dan
ketahanan tubuh untuk terus mengikuti jalan gerak yang mengalir.
Balia menghadirkan
"tubuh rakyat" dalam setiap gerakannya yang bernilai magis dan masih
bersifat tradisi.
Bahwa tubuh penari
tidak akan kehilangan kosmologinya jika "tubuh mitos" dalam unsur
gerak balia dihadirkan dalum balutan kontemporer diatas panggung pertunjukkan,
namun tidak dapat dipungkiri masuknya modernisasi ke dalam unsur gerak balia
melahirkan eksotika tubuh yang lebih bernilai.
Kepuasan tubuh dalam
mengeksplorasi sumber gerak balia, tidak dapat ditutupi dari keseragaman penari
dan upaya memaksimalkan tubuh untuk bergerak secara total. Tubuh pun siap
menerima teknik dan memakai kostum tradisi apa pun, karena tubuh telah
mengalami transformasi lewat tradisi.
Fenomena ini
menunjukkan betapa sebuah kerja koreografi tidaklah sama dengan kerja antropologi.
Begitu juga dunia tari tidak harus mengorbankan dirinya sebagai panggung
antropolog yang artifisial, walaupun pasar membutuhkannya, dunia tari --yang
dianggap sebagai seni yang paling dekat dengan manusia, karena menggunakan
tubuh- punya masalah yang jauh lebih rumit dari bidang seni lainnya.
Balia telah menjadi
fenomena dipanggung tari dan ditansformasikan kedalam konsep kekinian. Balia
tak lagi ditarikan secara serempak (massal), tetapi mampu ditarikan secara
individu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar