Pola bertahan hidup pada manusia saat ini tidak terlepas dari konsep tempat. Sebuah tempat yang ada di bumi dan memiliki karakteristik yang khas serta berbeda dari tempat-tempat lainnya. Toponimi dari suatu tempat merupakan hasil budaya, baik secara historis maupun simbolis. Toponimi suatu tempat merupakan kesepakatan bersama dan diturunkan antar generasi, sehingga untuk mengetahui makna dari sebuah nama tempat membutuhkan kajian budaya secara historis dan simbolis. (NB. Segara, 2017).
Toponim, secara
harfiah dapat diartikan sebagai nama tempat di muka bumi. Dalam Bahasa
Indonesia menggunakan istilah "nama unsur geografi" atau "nama
geografis" atau "nama rupabumi"(Rais, dkk, 2008 : 4). Sementara,
menurut Raper dalam Rais (2008), toponim memiliki dua pengertian. Pengertian
pertama, toponim adalah ilmu yang mempunyai objek studi tentang toponim pada
umumnya dan tentang nama geografis khususnya. Pengertian kedua, toponim adalah
totalitas dari toponim dalam suatu region.
Maryani (2010 : 11),
mengungkapkan bahwa tempat memiliki karateristik fisik dan manusia yang hidup
di dalamnya dengan keberadaan lokasi suatu daerah sehingga menjadi branded of
place, landmark, geonomic region, indikasi geografis yang tidak dapat dipindahlan
dan menjadi kekhasan serta keunikan suatu tempat. Jadi unsur penamaan tempat
tidak terlepas dari unsur aktivitas manusia baik itu kesan terhadap suatu
fenomena geografis, ataukah peristiwa yang terjadi masa lampau. Yulius (2004 :
2) berpendapat, toponimi adalah ilmu atau studi tentang nama-nama geografis.
Toponim itu sendiri mempunyai arti, penamaan unsur-unsur geografis. Nama-nama
pulau, gunung, sungai, bukit, kota, desa, dsb adalah nama-nama dari unsur-unsur
geografis muka bumi.
Toponimi sangat
penting menjadi pengetahuan dasar atas tempat masyarakat tinggal, sehingga
pengetahuan ini menjadi kewaspadaan. Pengetahuan toponimi suatu daerah inilah
yang menjadi salah satu upaya mitigasi bencana. Perkembangan pembangunan di
kawasan kota besar kian pesat. Hal ini mulai nampak di awal 1980-an hingga
tahun 2018, dimana perkembangan pembangunan tidak melihat kondisi geografis,
banyak area yang semula rawa atau tanah yang berair, kemudian ditimbun dan
diratakan untuk kebutuhan tempat tinggal. Demikian pula daerah pesisir pantai
turut direklamasi.
Seperti halnya Kota
Palu, kehadiran pendatang yang tinggal dan menempati suatu desa atau kelurahan
tanpa mengetahui makna dari tempat tinggalnya. Melihat banyaknya peristiwa
bencana alam dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, daerah-daerah yang telah
dipaksakan untuk dibangun dan ditempati dikembalikan oleh bencana alam pada
keadaan sebelumnya. Palu berasal dari kata Topalu'e yang artinya tanah yang
terangkat, karena daerah ini dahulunya adalah lautan. Saat terjadi gempabumi
dan pergeseran lempeng lautan tersebut terangkat dan membentuk daratan lembah
yang sekarang menjadi kota Palu. Namun, ada istilah lain yang menyebutkan asal
muasal Palu, berasal dari Bahasa Kaili, Volo yang artinya bambu. Konon, bambu
ini tumbuh dari kampung Tawaeli sampai ke Sigi. Penamaan wilayah
kampung/kelurahan yang ada di Kota Palu umumnya dilatarbelakangi fenomena
geografis yang ada atau pernah ada di tempat tersebut, baik dari aspek fisik
seperti sosial menurut Deni Karsana (2009), seperti berikut :
· Nama kampung yang berasal dari unsur biologi berupa flora : Siranindi artinya daun cocor bebek, Nunu artinya beringin, Kamonji artinya sukun, Kayumalue artinya pohon malo, Talise artinya ketapang, Taipa artinya mangga, Birobuli artinya tanaman rerumputan untuk membuat rasa pahit pada saguer (sejenis minuman keras khas Sulawesi Tengah), Lolu artinya bagian pucuk pohon, Tavanjuka artinya daun mangkuk, Silae artinya ruas bambu, Lambara/Lambori artinya pandan hutan berduri, Lasoani artinya pohon berduri.
· Nama kampung yang berasal dari unsur biologi berupa fauna : Besusu artinya siput air.
· Nama kampung yang berasal dari unsur air : Layana artinya genangan air, Baiya artinya kering.
· Nama kampung yang berasal dari unsur geomorfologis (bentuk lahan) : Tatura artinya tanah runtuh, Tondo artinya tepi atau pinggiran di atas tanah longsor, Duyu artinya tanah longsor, Ujuna artinya ujungnya/tanjungnya, Buluri artinya di gunung, Kawatuna artinya banyak batu, Watusampu artinya batu asah, Kabonena artinya banyak pasir.
· Nama kampung yang menyangkut tentang folklore (aspek sosial budaya) : Layana artinya orang yang kehausan dan menemukan genangan air.
· Nama kampung yang menyangkut tentang gagasan atau harapan : Lere artinya tenteram.
· Nama kampung yang menyangkut tentang sejarah : Boyaoge artinya kampung yang ramai, Mamboro artinya tiupan angin.
· Nama kampung yang menyangkut tentang aktivitas masa lalu : Tipo artinya menganyam tikar, Pengawu artinya mengobati.
Pengetahuan tentang
toponimi dalam pendekatan mitigasi bencana sangatlah diperlukan. Pengetahuan
tentang toponimi ini akhirnya baru mulai menjadi perhatian masyarakat di Palu
dan sekitarnya, pasca bencana gempabumi 28 September 2018, walaupun belum
secara umum masyarakat memiliki kesadaran untuk mengenali wilayahnya dalam
kaitan sejarah kebencanaan di masa lampau. Menurut Arkeolog Palu, Iksam (2019)
bahwa berbagai pengalaman para leluhur Indonesia, hidup akrab dengan bencana
alam, sebenarnya dapat memberikan khazanah kepada masyarakat lokal pada generasi
berikutnya. Misalnya, pada hal praktis, tidak menempati daerah yang pernah
terjadi bencana alam untuk dijadikan pemukiman. Tempat atau daerah yang
memiliki riwayat terjadinya bencana alam di masa lampau dapat terlacak oleh
penamaan tersebut oleh para leluhur.
Pada abad ke 18,
intelektual Belanda telah menggunakan kata Palu untuk menunjuk daerah Lembah
Kaili. Palu adalah kota baru, DR. Kruyt menguraikan bahwa Palu sebenarnya
tempat baru di huni orang (Gifvents Lasimpo : 2019). Berikut beberapa toponim
kampung yang memiliki riwayat atau sejarah bencana di Sulawesi Tengah,
diantaranya :
Tagari Londjo
Likuifaksi di Perumnas Balaroa, 2018 (Dok. Basarnas Kota Palu)
Kisah tagari Londjo
ini kembali diperbincangkan pasca peristiwa likufaksi di Perumnas Balaroa.
Masyarakat Balaroa dan sekitarnya menyebut Nalodo/Nalonjo berasal dari Bahasa
Kaili yang berarti tertanam, karena wilayah Perumnas Balaroa ini dahulunya
adalah rawa.
Konon menurut tutura
orang tua, dahulu ada larangan keras untuk melintas di daerah Londjo ini. Para
pedagang yang berasal dari Marawola (sekarang berada di wilayah administratif
Kab. Sigi) yang hendak menuju Pasar Tua Bambaru (wilayah administratif Palu)
akan memutar jalur melalui daerah Duyu karena masyrakat takut jika melewati
Londjo, mereka akan tertanam lumpur. Padahal Londjo merupakan jalur tercepat menuju
Pasar Tua di Bambaru.
Seiring berkembangnya
Kota Palu, kampung Londjo pun mulai tersisihkan. Larangan-larangan yang dahulu
berlaku pada daerah ini mulai diabaikan. Pada tahun 1980-an, pemerintah daerah
dan investor mulai menjadikan daerah tersebut sebagai lahan pemukiman dengan
melakukan penggusuran dan penimbunan lahan agar permukaan tanah menjadi labil
dan keras sehingga layak untuk ditinggali yang kemudian dikenal Perumnas
Balaroa. Peristiwa gempa 28 September 2018, akhirnya mengembalikan struktur
tanah Londjo menjadi labil kembali melalui fenomena likuifaksi.
Jajaki
Dalam peta buatan
Etnograf Belanda, AC Kruyt yang ia tulis berdasarkan catatan perjalanannya ke
Lembah Palu tahun 1897, ia menuliskan satu daerah pernama Petobo. Sebelumnya
Petobo ini bernama Jajaki. Jajaki merupakan tempat polibu atau bermusyawarah.
Jajaki pun sempat menjadi ibukota Sigi sebelum pada akhirnya berpindah ke
Djandja (Biromaru).Peta Tua Palu (Sumber: Museum Prov. Sulawesi Tengah)
Wilayah Jajaki
terdiri atas beberapa bagian, yaitu : Kinta, Varo, Nambo, Ranjabori,
Pantaledoke, Popempenono, dan Kaluku Lei. Penamaan Petobo didasarkan pada
peristiwa Taboge Bulava yang hendak dinikahi oleh pemuda Kaili Tara, dengan
mahar akan dibuatkan saluran air dari Sungai Kawatuna. Namun, saat prosesi
Petambuli (proses dialog sebagai salam hormat masuk rumah) mempelai Pria
meninggal dunia, sehingga daerah tempat meninggalnya disebut Petobo yang
artinya jatuh tertelungkup.
Terdapat juga
folklore Petobo yang turun menurun pada masyarakatnya. Dahulu penduduk Petobo
tidak boleh lebih dari 60 orang, jika lebih dari jumlah tersebut maka akan
terjadi bencana dan penyakit sehingga jumlah penduduknya akan kembali menjadi
60 orang. Dari fenomena ini pernah dibuat upacara adat dengan menyusun sejumlah
tongkat dan Guma (parang adat) untuk dijadikan Kinta. Sejak saat itu penduduk
di Kinta dapat bertambah populasinya. Fenomena tersebut kembali terulang pasca
likuifaksi 2 tahun silam, dimana Petobo terbawa likuifaksi namun warga di Kinta
atau yang berlari ke arah Kinta, semuanya selamat.
Bagian lain dari
Petobo adalah Nambo (sebelum likuifaksi berada di sekitar Jl. Mamara) yang
merupakan nama Raja Loru yang hilang. Beliau dikabarkan hilang di Daerah Aliran
Sungai Nggia dari Kapopo yang kemudian bertemu dengan Sungai Kawatuna menuju
arah Levonu, daerah sekitar Mall Tatura dan Dunia Baru yang kedua bangunan
tersebut rubuh karena gempa 2018.
Petobo dahulu hanya
dipakai sebagai tempat berperang bukan untuk tempat pemukiman, karena
didalamnya terdapat wilayah bernama Pantale Doke (tempat menyimpan tombak),
sementara wilayah Ranjabori juga merupakan wilayah khusus perang. Sedangkan
wilayah Petobo lainnya yaitu Kaluku Lei (sekitar Rumah Sakit Bersalin Nasana
Pura) terdapat banyak pohon kelapa dengan buah berwarna merah.
Kaombona
Gempa dan tsunami
yang menerjang Teluk Palu, 1 Desember 1927 menyisakan penamaan wilayah
terdampak di Pesisir Teluk Palu. Penduduk lokal menyebutnya Kaombona, berasal
dari kata Naombo yang berarti tercekung atau runtuh. Dalam memori kolektif
masyarakat pesisir Palu, penyebutan Kaombona berawal dari turunnya permukaan
tanah di sekitar pesisir Teluk Palu yang diakibatkan gempa berkekuatan 6,5 SR,
menyebabkan kerugian 50.000 gulden serta 14 orang meninggal dunia dan 50 orang
korban luka-luka.
Saat itu tinggi
tsunami mencapai 15 meter dan di dasar laut juga diamati terjadi penurunan
sedalam 12 meter yang menjadi awal
daerah tersebut di sebut Kaombona (Ahmad Arif, dkk : 2007). secara
spesifik Kaombona berada di pesisir, dimulai dari area Rumah Makan Heni Putri
Kaili sampai ke Lokasi Polsek Palu Timur. Era 1970-an, penyebutan Kaombona
mulai menghilang dan dijadikan arena Mottorcross yang dikenal dengan Sirkuit
Tanah Runtuh. Namun, sejak 2016 Kaombona kembali digunakan untuk area tanah
runtuh ini.
Kumbili
Kumbili merupakan
nama tua dari Kayumalue yang diambil dari nama pohon yang hanya hidup di daerah
itu. Selain tidak bisa tumbuh di tempat lain, pohon kumbili ini memiliki siklus
hidup yang sangat unik karena hanya tumbuh dalam beberapa tahun, puluhan tahun
kemudian akan mati dan sesudahnya akan tumbuh lagi.
Kumbili kemudian
berubah nama menjadi Kayumalue. Kayumalue merupakan wilayah yang bersejarah
karena dikenal sebagai tempat pecahnya Perang Kerajaan Palu dan Kolonial Hindia
Belanda (1888) yang dikenal dengan peristiwa Kagegere Kapapu Nu Kayumalue. Saat
peristiwa gempa yang disertai tsunami pada 20 Mei 1938, Kayumalue merupakan
daerah yang selamat dan saat gempa 2018 banyak masyarakat yang berlari menuju
Kayumalue dari terjangan tsunami karena mereka menganggap Kayumalue adalah
lokasi teraman dari tsunami. Dari peristiwa 1938 ini, Kayori menjadi satu
peringatan kepada sebagian masyarakat hingga saat ini.
Sumber Referensi :
Jacobs. Rais. 2008. Toponimi : Sejarah Budaya yang Panjang dari Pemukiman Manusia dan Tertib Administrasi. Jakarta. Pradnya Paramita.
Lasimpo, Gifvents.
2019. Mitigasi Bencana Berbasis Pengalaman
Suku Kaili di Lembah Palu. Palu. KOMIU.
Maryani, Enok. 2011. Kearifan Lokal Sebagai Sumber Pembelajaran
IPS dan Keunggulan Karakter Bangsa . Bandung. Makalah pada Kovensi
Pendidikan Nasional IPS.
Segara, Nuansa Bayu.
2017. Kajian Nilai pada Toponimi di
Wilayah Kota Cirebon sebagai Potensi Sumber Belajar Geografi. Cirebon.
Jurnal Geografi Volume 14 No. 1.
Museum Sulawesi
Tengah
Komunitas Historia
Palu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar