Kamis, 02 September 2021

ILHAM ; Robohnya Satu Benteng dari Sigi

Mohammad Ilham - Palu Menari 2019 (Foto : Ibrahim)

Sigi menurut saya adalah Benteng, pertahanan budaya terakhir di tanah Kaili ini. Namun siapapun bisa berasumsi lain. Sigi, menjadi satu pintu untuk kita bisa melihat banyak hal menarik, dilengkapi dengan kekuatan individu yang bermental baja bukan hanya untuk urusan sosial kemasyarakatan tapi juga Seni.

Yahh, seni, jangan ditanya bagaimana kokohnya benteng-benteng kesenian itu dibangun antar desa, terkoneksi. Saya menjadi salah satu saksi bagaimana Izat Gunawan seorang komposer dan seniman asal Sigi (yang kini kami lebih akrab menyapanya ustad Izat), menyatukan kekuatan dan menguatkan mental anak-anak muda Sigi untuk menjadikan kebun sebagai pendekatan artistik dalam karya dan saya menyakini hampir semua pelaku seni di Sulawesi Tengah mengenal dengan baik program ini,  Taluart.

Setiap tahunnya, Taluart selalu menawarkan banyak hal baru. Yang paling membuat perasaan saya hanyut bagaimana Izat membawa proses itu menjadi sebuah rutinitas yang mengasikkan bagi anak-anak muda yang baru mulai mengenal kesenian di desa. Beberapa kali saya menulis tentang karya-karya yang di presentasikan pada Taluart, salah satunya adalah Taluart ke-3 yang dilaksanakan di Desa Kabobona, Dolo. Sebuah eksperimentasi gerak diusung oleh Sanggar Tari Rano Bungi yang digagas oleh Ibnu. Mengapa ini menjadi menarik? Ada ilham dalam proses Taluart ini.

Ilham bukan hanya selewat, bukan hanya penggarap, namun ia juga turut terlibat sebagai pemain disini. Dari Taluart ini, Ilham mulai membuka ruang diskusi yang lebih mengerucut lagi soal gagasan, namun selalu saya beri jawaban menggantung agar ia tidak selamanya hanya mendengar masukan orang-orang disekitar, agar telinganya tidak hanya dipenuhi  pujian namun dari sini saya berharap pikirannya mulai melahirkan imaji liar.

Benar saja, Ilham akhirnya memainkan itu walaupun nyaris keluar dari konteks yang diinginkan oleh Ibnu sebagai penggagas. Namun, menurutku Ilham mulai berani mengeksplorasi gerak yang tidak melulu berulang dari karya-karyanya sebelumnya. Dari sini, saya meyakini Ilham memiliki keliaran dalam eksplorasi ruang pada tubuhnya.

Ilham, koreografer muda asal Sigi yang selalu bersemangat dan selalu kembali datang pada saya jika sudah mulai kacau dengan pikiran-pikiran yang melenyapkan imajinasinya. Saya ingat betul, dia tiba-tiba datang pada saya di awal tahun 2011 bahwa dia ingin menari, mau belajar tari dan meminta saya untuk mengajaknya jadi penari  Saya masih sangat mengingat moment di bundaran Golni, Taman Budaya itu. Yang saya tahu saat itu Ilham adalah penggiat seni kampus (BS. Pitate, Fakultas Pertanian Untad) dan dia malah lebih sering pentas teater.

Tak banyak yang tahu bagaimana proses Ilham mengenal tubuhnya dan memutuskan untuk serius menari. Orang kebanyakan baik itu di Palu dan sekitarnya mengenalnya sebagai koreografer Sigi yang pada akhirnya mewakili Sulawesi Tengah pada sebuah event tahunan Taman Budaya dan TMII yaitu Parade Tari, yahhh sebuah event tari yang paling ditunggu-tunggu oleh para koreografer Sulawesi Tengah. Padahal pencapaian Ilham jauh lebih diatas dari Parade Tari itu. Bahkan saat ia hendak berangkat ke TMII, saya sempat berujar padanya, bahwa keinginannya untuk bisa masuk di ruang Parade Tari telah tercapai, saya berharap setelah itu ia berhenti dulu di ruang serupa Parade Tari karena menurut saya pencapaian ketubuhan Ilham bisa lebih dari pada ruang itu.

Namun, kita tahu bahwa hidup berkesenian secara penuh belum bisa dijadikan sumber pendapatan tetap yang bisa memenuhi kepulan dapur, itupun saya amini. Parade Tari bisa dijadikan sumber ‘peyek’ bagi kami karena ada perputaran ekonomi disana. Lagi dan lagi kesadaran mulai hadir bahwa pemda memang masih menganaktirikan kita para pelaku seni khususnya seniman panggung. Kita akan dihargai setelah nama daerah menjadi sorak sorai di panggung nasional, pencapaian pemda memang selalunya seperti itu bukan? Ahhh sudahlah.

Termasuk Ilham, selain menari ia pun harus mencari pekerjaan tetap untuk bisa menopang perekonomian keluarga. Ia bahkan sudah tidak memperhitungkan lagi jarak antara rumah, tempat kerja, tempat latihan, setiap harinya berkutat melewati terik dan hujan dengan tubuh ringkih ia menerobos semuanya. Pada akhirnya tubuhnya sendiri sudah tak bisa lagi menopang semua itu. Pemda kita memang gitu lam, mereka tidak pernah tahu proses yang kita lewati untuk sebuah karya…pemda kita memang senang melucu lam. Paling miris dari semua perjuangan Ilham itu adalah ketika dia berkata, “kalau begitu saya menabung lagi dulu k in, tapi masih banyak cicilanku.”  Kami pun tertawa di bundaran yang hangat itu sekaligus menjadi moment kedekatan personal terakhir saya dan Ilham, karena beberapa bulan kemudian bundaran Golni itu tersapu oleh tsunami yang menghantam seluruh Teluk Palu pada peristiwa 28 September 2018 lalu.

Pasca bencana, saya dan Ilham semakin jarang berkomunikasi dan berdiskusi lagi soal tari dan proses. Kedekatan kami bukan menjadi jaminan tak pernah ada konflik. Yah, kami pun pernah melewati itu, tapi konfliknya masih di ranah tari bukan personal. Saya masih ingat tahun 2019, ia meluapkan kekesalannya di sebuah akun medsos miliknya dan saya tahu betul arah status tersebut ditujukan pada saya. Pasalnya, saya menjadi Juri dari sebuah lomba tari yang diikutinya dan dia hanya menempati posisi Juara 2. Saya paham dengan kekecawaannya yang kemudian dia kembali datang pada saya dan bilang bahwa kecewanya bukan karena posisi kalah namun pada kondisi berulang ahhhh jika dijabarkan peristiwa ini akan jadi bahan perbincangan baru. Tapi, bukan Ilham namanya kalau emosi dan kekesalan akan tertanam. Ia kembali enteng dengan perasaannya dan kami kembali tertawa saat mengisahkan lagi peristiwa itu. Intinya, Ilham menurutku adalah orang yang mau mendengarkan penjelasan secara personal dan begitulah cara dia memahami tari.

Setahun lebih, dia mengikuti proses dengan saya. Pada bulan ketujuh, dia mulai gelisah seperti ada yang mulai menggoyahhkan kekuatannya untuk menari, namun saya tetap menguatkan dan saya mengajaknya menonton banyak karya-karya koreografer baik dalam maupun luar negeri dan kami mendiskusikannya, agar ia terbiasa dengan dikusi terbuka seperti ini. Setelah setahun berlalu, ia mulai menanyakan hal yang sempat menggelitik, “k in, sudah satu tahun saya latihan jadi kapan saya bisa pentas?”. Pertanyaan lugu seorang murid, seorang adik yang sudah mulai dipenuhi semangat dan pengembaraan liar di kepalanya perihal tari. Jawaban saya mungkin menjadi pegangan  buat dia, setidaknya itu yang saya amati dari prosesnya selama ini, “kalau kau siap untuk menerima segala penolakan, sindiran, masukan dan kritikan, menari lam, bikin karya yang bagus, tapi jujur, menari dengan banyak koreografer tidak perlu malu, bertanya kalau tiba-tiba buntu dan jangan pernah puas, tepukan penonton itu adalah tende yang sebenar-benarnya menyakitkan.” Dan kembali perbincangan itu kami tutup dengan tawa, selalunya seperti itu.

Mohammad Ilham - Palu Menari 2019 (Foto : Ibrahim)
Setelah ia menari untuk karya saya tahun 2012, Ia mulai menemukan dirinya sebagai Ilham yang baru, membawa tubuh dengan segala tanya, membangun proses yang sangat tidak mudah. Beberapa kali ia membelok pada pergaulan dan kerja-kerja yang mulai aneh. Ilham itu dikelilingi orang-orang baik, bukan hanya saya ternyata yang mengamati dan menegurnya tapi setiap langkahnya, ia selalu disertai tanya, pesan, sindiran dan amarah dari orang-orang sekitarnya serupa bentuk kasih sayang menurutku.

Semangat terakhir yang saya lihat dari seorang Ilham, saat ia perform di Palu Menari 2019, sebuah Program Tari yang saya gagas bersama Komunitas Seni Lobo, semangat seperti saat pertama kali ia datang pada saya dan pada akhirnya ia tularkan pada adik-adiknya di Sigi dan Donggala. Saya akan selalu mengingat dengan baik bagaimana kawan-kawan di Solo mengapresiasi karyanya saat ia pentas di program Bukan Sekedar Tari. Karena itu saya selalu bilang padanya, bahwa pijakanmu sudah diatas dari yang lain.

Sigi, tidak kekurangan penari dan penata tari. Namun, Sigi telah kehilangan benteng tubuh tari yang baik dan masih sulit mencari yang sepertinya di Sigi. Apresiasi tinggi saya sematkan untuk perjalanan tubuh seorang Ilham. Sampai berjumpa di keabadian.


Notes :
Tende - nompatende: menggairahkan semangat orang/pujian (Kaili)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar