![]() |
Mohammad Ilham - Palu Menari 2019 (Foto : Ibrahim) |
Sigi menurut saya adalah Benteng, pertahanan budaya terakhir di tanah Kaili ini. Namun siapapun bisa berasumsi lain. Sigi, menjadi satu pintu untuk kita bisa melihat banyak hal menarik, dilengkapi dengan kekuatan individu yang bermental baja bukan hanya untuk urusan sosial kemasyarakatan tapi juga Seni.
Yahh, seni, jangan
ditanya bagaimana kokohnya benteng-benteng kesenian itu dibangun antar desa,
terkoneksi. Saya menjadi salah satu saksi bagaimana Izat Gunawan seorang
komposer dan seniman asal Sigi (yang kini kami lebih akrab menyapanya ustad
Izat), menyatukan kekuatan dan menguatkan mental anak-anak muda Sigi untuk menjadikan
kebun sebagai pendekatan artistik dalam karya dan saya menyakini hampir semua
pelaku seni di Sulawesi Tengah mengenal dengan baik program ini, Taluart.
Setiap tahunnya,
Taluart selalu menawarkan banyak hal baru. Yang paling membuat perasaan saya
hanyut bagaimana Izat membawa proses itu menjadi sebuah rutinitas yang mengasikkan
bagi anak-anak muda yang baru mulai mengenal kesenian di desa. Beberapa kali
saya menulis tentang karya-karya yang di presentasikan pada Taluart, salah
satunya adalah Taluart ke-3 yang dilaksanakan di Desa Kabobona, Dolo. Sebuah eksperimentasi
gerak diusung oleh Sanggar Tari Rano Bungi yang digagas oleh Ibnu. Mengapa ini
menjadi menarik? Ada ilham dalam proses Taluart ini.
Ilham bukan hanya selewat, bukan hanya penggarap, namun ia juga turut terlibat sebagai pemain disini. Dari Taluart ini, Ilham mulai membuka ruang diskusi yang lebih mengerucut lagi soal gagasan, namun selalu saya beri jawaban menggantung agar ia tidak selamanya hanya mendengar masukan orang-orang disekitar, agar telinganya tidak hanya dipenuhi pujian namun dari sini saya berharap pikirannya mulai melahirkan imaji liar.
Benar saja, Ilham
akhirnya memainkan itu walaupun nyaris keluar dari konteks yang diinginkan oleh
Ibnu sebagai penggagas. Namun, menurutku Ilham mulai berani mengeksplorasi
gerak yang tidak melulu berulang dari karya-karyanya sebelumnya. Dari sini,
saya meyakini Ilham memiliki keliaran dalam eksplorasi ruang pada tubuhnya.
Ilham, koreografer
muda asal Sigi yang selalu bersemangat dan selalu kembali datang pada saya jika
sudah mulai kacau dengan pikiran-pikiran yang melenyapkan imajinasinya. Saya ingat
betul, dia tiba-tiba datang pada saya di awal tahun 2011 bahwa dia ingin
menari, mau belajar tari dan meminta saya untuk mengajaknya jadi penari Saya masih sangat mengingat moment di
bundaran Golni, Taman Budaya itu. Yang saya tahu saat itu Ilham adalah penggiat
seni kampus (BS. Pitate, Fakultas Pertanian Untad) dan dia malah lebih sering
pentas teater.
Tak banyak yang tahu
bagaimana proses Ilham mengenal tubuhnya dan memutuskan untuk serius menari. Orang
kebanyakan baik itu di Palu dan sekitarnya mengenalnya sebagai koreografer Sigi
yang pada akhirnya mewakili Sulawesi Tengah pada sebuah event tahunan Taman
Budaya dan TMII yaitu Parade Tari, yahhh sebuah event tari yang paling ditunggu-tunggu
oleh para koreografer Sulawesi Tengah. Padahal pencapaian Ilham jauh lebih
diatas dari Parade Tari itu. Bahkan saat ia hendak berangkat ke TMII, saya sempat
berujar padanya, bahwa keinginannya untuk bisa masuk di ruang Parade Tari telah
tercapai, saya berharap setelah itu ia berhenti dulu di ruang serupa Parade
Tari karena menurut saya pencapaian ketubuhan Ilham bisa lebih dari pada ruang
itu.
Namun, kita tahu
bahwa hidup berkesenian secara penuh belum bisa dijadikan sumber pendapatan
tetap yang bisa memenuhi kepulan dapur, itupun saya amini. Parade Tari bisa
dijadikan sumber ‘peyek’ bagi kami karena ada perputaran ekonomi disana. Lagi dan
lagi kesadaran mulai hadir bahwa pemda memang masih menganaktirikan kita para
pelaku seni khususnya seniman panggung. Kita akan dihargai setelah nama daerah
menjadi sorak sorai di panggung nasional, pencapaian pemda memang selalunya
seperti itu bukan? Ahhh sudahlah.
Termasuk Ilham,
selain menari ia pun harus mencari pekerjaan tetap untuk bisa menopang
perekonomian keluarga. Ia bahkan sudah tidak memperhitungkan lagi jarak antara
rumah, tempat kerja, tempat latihan, setiap harinya berkutat melewati terik dan
hujan dengan tubuh ringkih ia menerobos semuanya. Pada akhirnya tubuhnya
sendiri sudah tak bisa lagi menopang semua itu. Pemda kita memang gitu lam,
mereka tidak pernah tahu proses yang kita lewati untuk sebuah karya…pemda kita
memang senang melucu lam. Paling miris dari semua perjuangan Ilham itu adalah ketika
dia berkata, “kalau begitu saya menabung lagi dulu k in, tapi masih banyak
cicilanku.” Kami pun tertawa di bundaran
yang hangat itu sekaligus menjadi moment kedekatan personal terakhir saya dan
Ilham, karena beberapa bulan kemudian bundaran Golni itu tersapu oleh tsunami
yang menghantam seluruh Teluk Palu pada peristiwa 28 September 2018 lalu.
Pasca bencana, saya
dan Ilham semakin jarang berkomunikasi dan berdiskusi lagi soal tari dan proses.
Kedekatan kami bukan menjadi jaminan tak pernah ada konflik. Yah, kami pun
pernah melewati itu, tapi konfliknya masih di ranah tari bukan personal. Saya masih
ingat tahun 2019, ia meluapkan kekesalannya di sebuah akun medsos miliknya dan
saya tahu betul arah status tersebut ditujukan pada saya. Pasalnya, saya menjadi
Juri dari sebuah lomba tari yang diikutinya dan dia hanya menempati posisi
Juara 2. Saya paham dengan kekecawaannya yang kemudian dia kembali datang pada
saya dan bilang bahwa kecewanya bukan karena posisi kalah namun pada kondisi
berulang ahhhh jika dijabarkan peristiwa ini akan jadi bahan perbincangan baru.
Tapi, bukan Ilham namanya kalau emosi dan kekesalan akan tertanam. Ia kembali
enteng dengan perasaannya dan kami kembali tertawa saat mengisahkan lagi
peristiwa itu. Intinya, Ilham menurutku adalah orang yang mau mendengarkan
penjelasan secara personal dan begitulah cara dia memahami tari.
Setahun lebih, dia
mengikuti proses dengan saya. Pada bulan ketujuh, dia mulai gelisah seperti ada
yang mulai menggoyahhkan kekuatannya untuk menari, namun saya tetap menguatkan
dan saya mengajaknya menonton banyak karya-karya koreografer baik dalam maupun
luar negeri dan kami mendiskusikannya, agar ia terbiasa dengan dikusi terbuka
seperti ini. Setelah setahun berlalu, ia mulai menanyakan hal yang sempat
menggelitik, “k in, sudah satu tahun saya latihan jadi kapan saya bisa pentas?”.
Pertanyaan lugu seorang murid, seorang adik yang sudah mulai dipenuhi semangat
dan pengembaraan liar di kepalanya perihal tari. Jawaban saya mungkin menjadi
pegangan buat dia, setidaknya itu yang saya
amati dari prosesnya selama ini, “kalau kau siap untuk menerima segala
penolakan, sindiran, masukan dan kritikan, menari lam, bikin karya yang bagus,
tapi jujur, menari dengan banyak koreografer tidak perlu malu, bertanya kalau tiba-tiba
buntu dan jangan pernah puas, tepukan penonton itu adalah tende yang sebenar-benarnya menyakitkan.” Dan kembali perbincangan
itu kami tutup dengan tawa, selalunya seperti itu.
![]() |
Mohammad Ilham - Palu Menari 2019 (Foto : Ibrahim) |
Semangat terakhir
yang saya lihat dari seorang Ilham, saat ia perform di Palu Menari 2019, sebuah
Program Tari yang saya gagas bersama Komunitas Seni Lobo, semangat seperti saat
pertama kali ia datang pada saya dan pada akhirnya ia tularkan pada
adik-adiknya di Sigi dan Donggala. Saya akan selalu mengingat dengan baik
bagaimana kawan-kawan di Solo mengapresiasi karyanya saat ia pentas di program
Bukan Sekedar Tari. Karena itu saya selalu bilang padanya, bahwa pijakanmu
sudah diatas dari yang lain.
Sigi, tidak
kekurangan penari dan penata tari. Namun, Sigi telah kehilangan benteng tubuh tari
yang baik dan masih sulit mencari yang sepertinya di Sigi. Apresiasi tinggi
saya sematkan untuk perjalanan tubuh seorang Ilham. Sampai berjumpa di
keabadian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar