![]() |
Sumber Foto : Masduki |
Ini adalah tulisan pengamatan terpanjang saya diawal 2024 dan mari kita berjalan-jalan ke pusat-pusat kesenian di beberapa negara. Di benua Eropa tepatnya di Jerman, sistem informasi kegiatan kebudayaan terbentuk sangat rapi lewat publikasi bulanan dan informasi anjungan komputer bisa dengan mudah di akses di lobi melalui internet. Semua didukung manajemen dan infrastruktur yang baik. Gasteig adalah pusat kebudayaan terbesar di Munich, dibuka sejak 1985, terdiri dari puluhan ruang pemutaran film, panggung musik terbuka dan musik kamar, rumah opera dunia Philharmonic, perpustakaan kota terbesar, dilengkapi beberapa kafe. Hampir seluruh even tahunan seperti Munich Film Festival, book fair, Munich Art Biennale digelar disini. Lokasinya di kawasan bersejarah Rosenheimer Strasse di bibir sungai Isar, berjarak 5 km dari gedung pusat LMU, tempat perkuliahan yang sumpah keren banget. Di setiap Rabu sore dan Jumat siang anda bisa duduk santai menikmati sajian musik berkelas, sambil membuka akses Wifi gratis supercepat. Oh ya, menariknya gedung Gasteig bersebelahan dengan masjid kecil milik warga Turki.
![]() |
Sumber Foto : Tribunewswiki.com |
Next, kita ke Asia menuju pusat kota Seoul, Salah satu gedung teater multifungsi terbesar di Korea adalah Pusat Seni Pertunjukan Sejong, yang terletak di pusat kota Seoul dengan nama Sejong Center for the Performing Arts. Dengan luas interior 53, 202m2, sebuah kompleks seni terbesar di Korea Selatan yang terletak di Sejongno, sebuah jalan raya yang membelah kota Dinasti Jeoson. Pusat Kesenian Seoul ini berafiliasi dengan pusat seni kotapraja, dan dibuka pada tahun 1978, terdapat Orkestra Simfoni Seoul, Orkestra Musik Tradisional Korea Metropolitan Seoul, Paduan Suara Metropolitan Seoul, Grup Teater Metropolitan Seoul, Grup Musikal Metropolitan Seoul, Grup Tari Metropolitan Seoul, Grup Opera Metropolitan Seoul, Paduan Suara Anak Laki-laki dan Perempuan Metropolitan Seoul, dan Orkestra Simfoni Kaum Pemuda Seoul. Gedung utama pusat kesenian ini dapat menampung 3.800 orang, sedangkan orgel tiupan (pipe organ) di tempat ini merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Pusat Kesenian Seoul ini merupakan pusat seni dan budaya multidisiplin pertama di Korea. Dengan arsitekturnya yang indah, Gedung Opera memiliki tiga gedung teater yang terpisah. Gedung Teater Opera, dengan jumlah kursi 2.278, dilengkapi sedemikian rupa sebagai tempat pertunjukan opera dan balet yang besar, serta masih banyak lagi. Gedung Teater Towol, yang mampu menampung 669 penonton, merupakan gedung teater ukuran menengah yang digunakan untuk pertunjukan-pertunjukan sandiwara, opera-opera skala kecil, dan tarian modern. Gedung Teater Jayu yang dapat menampung maksimal 350 orang, adalah tempat untuk pertunjukan-pertunjukan eksperimental dan avant-garde.
So, Jika kamu menyukai seni dan sedang berada di Singapura,
kamu bisa bertandang ke Esplanade, Pusat kesenian berupa gedung teater dan
concert hall di tepi teluk yang megah. Esplanade merupakan pusat kesenian yang
menjadi wadah pertunjukan kelas dunia. Memiliki ikon arsitektur cangkang kembar
yang khas, tempat ini telah menampilkan lebih dari 49.000 pertunjukan, membuat
tempat ini menjadi salah satu pusat kesenian tersibuk di dunia. Esplanade
berlokasi di Merlion Park. Jam buka Esplanade sangat panjang, yakni sejak pukul
8 pagi hingga pukul setengah 12 malam. Esplanade menampilkan berbagai
pertunjukan yang dapat disaksikan dengan gratis, dari pertunjukan musik, tari,
teater, hingga seni visual. Esplanade dibangun dengan harapan dapat menjadi
pusat kesenian yang diakui dunia dan dapat menghibur, mendidik, dan
menginspirasi orang-orang. Pusat kesenian ini telah terbukti dapat menyedot
banyak penonton setiap harinya.
![]() |
Sumber Foto : Singapore Tourism Board |
![]() |
Sumber Foto : traveltribunews.com |
Bagaimana dengan Palu, Sulawesi Tengah ? yahh, kita punya Taman Budaya Sulawesi Tengah yang dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) tersendiri yang merupakan bagian dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dibawah Bidang Kebudayaan. Sayangnya di tahun 2017, UPT Taman Budaya dan UPT Museum dijadikan satu pengelolaannya karena adanya Permendagri Nomor 12 Tahun 2017. Sangat jauh yahh jika melakukan perbandingan dengan pusat-pusat kesenian di atas, namun kenapa tidak itu menjadi sebuah referensi bagi pemda, baik itu infrastrukturnya maupun pengelolaannya dan itu akan sangat sangat menarik apalagi setelah bencana menghantam Taman Budaya di tahun 2018.
Sebelum Bencana
![]() |
Gedung Teater Tertutup, Dok. Pribadi (2018) |
Dua tahun sebelum bencana (2016 – 2017), Taman Budaya Sulteng sangat kurang melakukan kegiatan pengembangan taman budaya, hanya berupa workshop itupun terbatas. Sedangkan pertunjukan, lebih banyak dilakukan oleh komunitas baik itu umum, kampus maupun sekolah secara pribadi maupun kolektif bukan menjadi bagian dari program rutin taman budaya dan selebihnya adalah kegiatan pemda dan kegiatan yang bersifat jejaring dari program pusat salah satunya adalah Parade Tari. Bahkan hadirnya kegiatan seni di Taman Budaya Sulteng dari tahun ke tahun itu tidak terkait dengan kegiatan tahunan kesenian dan kebudayan yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata sebagai upaya promosi kebudayaan seperti penggunaan Taman Budaya sebagai art space untuk event-event pariwisata, jadi seperti tak ada kordinasi antara Dinas Pariwisata dan Dikbud kala itu.
![]() |
Bagian dalam Gedung Tertutup yang baru selesai direhab, Dok. Pribadi (2018) |
Nyaris tidak ditemui peran Taman Budaya Sulteng ini sebagai
ruang penyajian konservasi senibudaya, khususnya berkaitan dengan khasanah
tradisi, agar masyarakat bisa mengetahui tentang kekayaan jenis-jenis seni
tradisi yang dimiliki oleh masyarakat. Dalam kaitannya, penyajian karya-karya
konservasi tersebut juga kuat hubungannya dengan konsep proses pencarian
nilai-nilai baru yang berhubungan dengan sistem nilai tradisi. Dengan kata
lain, karya-karya baru seni budaya dalam berbagai disiplin itu diharapkan
berangkat dari ruang sejarah sosial lingkungan masyarakatnya melalui pemahaman,
pelacakan dan riset-riset seni tradisi.
Lokasi yang Strategis Namun Tak Bersinergi
Taman Budaya Sulawesi Tengah berada pada wilayah strategis
karena letaknya sangat dekat dengan Teluk Palu dan kawasan ekonomi strategis. Terletak
di Jl. Abdul Raqie Gelar Dato Karama, taman budaya ini dibangun diatas tanah
seluas ± 3 ha dan diresmikan pada tahun 1992. Seiring berjalan waktu dalam
perkembangannya, lokasinya berkurang menjadi ± 2 ha karena sebagian lahannya
diambil alih dan digunakan oleh IAIN Palu (yang sekarang berubah nama menjadi
UIN).
Kondisi fisik Taman Budaya Sulteng masih bisa digunakan meskipun bangunan dan lingkungannya terlihat kurang terawat. Taman Budaya Sulawesi Tengah terdiri dari beberapa bangunan, diantaranya terdapat Gedung Sekretariat (front office), Gedung Teater Tertutup yang selesai di rehab pada awal 2018, GOLNI (Gedung Olah Seni) gedung pertunjukan tua yang paling sering digunakan karena harganya terjangkau, Gedung Sanggar Musik dan Tari yang biasanya secara bergilir digunakan latihan oleh banyak kelompok, Gedung Sanggar Seni Teater yang kondisinya sangat memprihatinkan, Gedung Balai Seni yang juga lebih sering digunakan sebagai tempat latihan karena bentuknya yang sangat tidak kondusif untuk pertunjukan, ada Gedung Seni Rupa yang juga mulai difungsikan secara intensif sejak tahun 2012. Selain itu ada Mushola, Wisma Seni, area parkir yang luas dan Amphiteater yang terbuka namun kami lebih senang menyebutnya Bundaran hangat.
![]() |
Si Bundaran Hangat, Dok. Pribadi (2018) |
Ada problematik lainnya yang terjadi sebelum bencana. Jika
saat ini problem utama dari taman budaya adalah infrastruktur yang tidak jelas tahap
pelaksanaannya dan menjadi kompleksitas dengan program yang tidak
tersebarluaskan pada seniman. Namun sebelum bencana, Taman Budaya Sulteng mengalami banyak permasalahan besar bukan hanya pada infrastruktur saja, seperti : kelembagaan, sumber daya manusia,
program dan anggaran, serta sarana dan prasarana.
Mari kita mengok pada persoalan Kelembagaannya : Belum adanya aplikasi UU Nomor 23 tahun 2014 (rev 2) mengenai kebudayaan adalah urusan wajib non-pelayanan dasar menjadi masalah utamanya, ditambah lagi institusi induk yang tidak seragam dan statusnya yang masih terkait dengan Permendagri nomor 12 tahun 2017. Sementara untuk Sumber Daya Manusianya : Kompetensi SDM Teknis Kebudayaan yang masih rendah terhadap kebudayaan itu sendiri. Untuk Program dan Anggaran : semua Taman Budaya di Indonesia masih dituntut PAD hingga saat ini, hal inilah yang membuka adanya komersialisasi di Taman Budaya Sulawesi Tengah demi adanya pemasukan. Selain itu, Taman Budaya Sulteng masih minim program beserta daya inovasinya, programnya monoton dan kebanyakan adalah pengulangan dari tahun-tahun sebelumnya, dimana seniman tidak pernah dilibatkan dalam diskusi atau rapat koordinasi penyusunan program. Yang terakhir adalah sarana dan prasana : seperti yang saya tuliskan diatas bahwa ada beberapa bangunan/gedung yang belum memiliki standar pertunjukan yang baik, kondisi yang masih kurang memadai baik ruang maupun peralatan penunjang pertunjukan.
Catatan dari Bincang Seni #17
Bincang Seni merupakan salah satu program reguler dari Komunitas Seni Lobo, sebuah lembaga kesenian nirlaba yang bermarkas di Tawanjuka. Program ini digagas pertama kali pada tahun 2019 sebagai sebuah ruang diskusi terbuka yang membahas banyak hal terkait soalan seni dan kerja-kerja kebudayaan. Ruang yang bukan hanya sekedar diskusi, namun sharing serta berbagi pengetahuan. Pada hari Rabu, 7 Februari 2024 lalu, Komunitas Seni Lobo menggelar kembali program ini yang sudah memasuki seri diskusi ke 17, membahas tentang bagaiman nasib Taman Budaya Sulteng pasca Bencana. Menarik karena yang menjadi narasumbernya adalah Kepala Dinas Kebududayaan Prop. Sulteng, Kepala Bidang Pembinaan Tenaga dan Lembaga Budaya Dinas Kebudayaan Prop. Sulteng, plt. Kepala Taman Budaya Museum Sulawesi Tengah dan Ketua Dewan Kesenian Sulawesi Tengah. Turut hadir juga para seniman, pegiat seni budaya, pegiat literasi dan sastra, kawan-kawan musik serta media.
Kadis Kebudayaan Sulteng, Dok. KSL (2023) |
Ada poin yang perlu kita catat dan garis bawahi, yakni pernyataan dari Kadis Kebudayaan. Andi Kemal Lembah, SH, MH, selaku Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tengah mengatakan bahwa Unit Pelaksana Kebudayaan sudah harus terbentuk di tahun 2025, dimana pada tahun ini telah dikeluarkan Dokumen Pelaksanaan Pembangunan. Besar kemungkinan Unit Pengelola Taman Budaya akan terpisah dengan Museum. Diketahui kini Dinas Kebudayaan Sulawesi Tengah dipisahkan dengan Dinas Pendidikan, setelah dilakukan pembentukan struktur yang baru yang diatur melalui penetapan Peraturan Daerah Provinsi Sulteng Nomor 10 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2016 terkait pembentukan dan susunan Perda Prov. Sulawesi Tengah.
Kita belum tahu pasti apakah ini sudah berupa rumusan perda atau sejenisnya. Namun bisa jadi ini menjadi angin segar bahwa Kadis Kebudayaan pun menginginkan dua instansi harus kembali pada fungsinya masing-masing dan menjadi pelaksana teknis yang terpisah. Negara menggelomtorkan sejumlah anggaran Bantuan Operasional Sistem melalui DAK (Dana Alokasi Khusus) yang diperuntukkan bagi kegiatan atau program Taman Budaya dan Museum. Tahun 2019, Taman Budaya Museum Sulawesi Tenggara memperoleh DAK dengan pembagian 1,4 Miliar untuk Taman Budaya dan 456 Juta untuk Museum, beberapa Taman Budaya dan Museum di tanah air pun mendapatkan alokasi yang berbeda-beda nilainya. Namun lain halnya dengan Taman Budaya Sulawesi Tengah yang sejak 2019 tidak memperoleh DAK dengan alasan tidak ada bangunannya. Sementara diketahui bersama, bahwa seluruh bangunan Taman Budaya Sulteng yang berlokasi di Kampung Lere tersapu tsunami, tidakkah ada upaya untuk merehabilitasi atau merelokasi Taman Budaya? Memasuki tahun keenam pasca bencana, seluruh area Taman Budaya Sulteng masih sangat memprihatinkan dengan kondisi gedung yang rusak parah. Menunggu 2025 seperti pernyataan Kadis Kebudayaan, wahhh sangatlah lama sementara DAK yang diperuntukkan bagi kegiatan kesenian itu bisa memacu proses-proses intensif seniman dan pegiat seni di Sulawesi Tengah (yahh, itu pun kalau programnya merata dan tidak monoton, itu lagi, itu lagi). Sementara ada kabar bahwa UIN kembali ingin meminta lahan tersebut. Ngerinya lagi, para pemangku kepentingan daerah ini sepertinya masih bisa duduk tenang dengan hal urgensi seperti ini. Jadi pedoman pelaksana pembangunan Taman Budaya ini menurutku masih sebatas wacana karena belum ada peraturan turunan yang menguatkan. Sementara kita akan terus berpacu dengan waktu dan pada akhirnya para seniman/pegiat seni mencari bahkan mulai membangun ruang-ruang kreatifnya sendiri.
Neni Muhidin, Founder Nemu Buku, Dok. KSL (2023) |
Sebenarnya usulan dari ibu Masyita Masuara, S.Pd, M.Si Kepala Bidang Pembinaan Tenaga dan Lembaga Budaya Dinas Kebudayaan Sulawesi Tengah bisa dipertimbangkan, bahwa bangunan Taman Budaya yang diterjang tsunami 2018 lalu bisa difungsikan kembali untuk sementara waktu sambil menunggu pelaksanaan pembangunan di tahun 2025, agar secara perlahan geliat kesenian mulai hidup kembali.
Narasumber Bincang Seni, Dok. KSL (2023) |
Tawaran Rekomendasi
Taman Budaya sebagai pusat kesenian di daerah yang bukan
hanya ruang pertunjukan bagi karya yang ada. Namun, juga dianggap sebagai
ruang laboratorium senibudaya yang dirumuskan untuk menjadi ruangnya seniman
melakukan eksplorasi, eksperimentasi dan mampu melakukan kerja-kerja
kolaboratif dan kolektif dengan berbagai disiplin kesenian. Disini kami selaku
pegiat seni hanya memberikan masukan dan sebuah tawaran kepada pemangku
kebijakan perihal keberlanjutan pembangunan Taman Budaya ini kedepannya.
(1) Perlu dilakukan koordinasi lintas kementerian yang
berimbas pada pemda ini terkait juga tentang eksistensi taman budaya, dan perlu
adanya koordinasi bersama pemda tentang nilai penting taman budaya terkait UU
Pemajuan Kebudayaan; (2) Yang terpenting perlu adanya revisi perda tentang PAD
dari Taman Budaya dan Pemda; (3) Harus ada usulan formasi ASN khusus taman
budaya, bila perlu ASN tersebut harus mengikuti Bimtek, Magang, Residensi dan
sertifikasi SDM Taman Budaya; (4) Dalam hal anggaran ada sinergi program pusat
dan daerah serta optimalisasi DAK pada kegiatan kesenian.
Kita Perlu terus mengawal bagaimana proses penting ini akan berkembang diranah pemangku kebijakan, agar Taman Budaya tak benar-benar tenggelam oleh kepentingan-kepentingan yang mengatasnamakan kesenian dan kebudayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar