Rabu, 14 Februari 2024

Taman Budaya Sulawesi Tengah ; Timbul Tenggelam

Sumber Foto : Masduki

Ini adalah tulisan pengamatan terpanjang saya diawal 2024 dan mari kita berjalan-jalan ke pusat-pusat kesenian di beberapa negara. Di benua Eropa tepatnya di Jerman, sistem informasi kegiatan kebudayaan terbentuk sangat rapi lewat publikasi bulanan dan informasi anjungan komputer bisa dengan mudah di akses di lobi melalui internet. Semua didukung manajemen dan infrastruktur yang baik. Gasteig adalah pusat kebudayaan terbesar di Munich, dibuka sejak 1985, terdiri dari puluhan ruang pemutaran film, panggung musik terbuka dan musik kamar, rumah opera dunia Philharmonic, perpustakaan kota terbesar, dilengkapi beberapa kafe. Hampir seluruh even tahunan seperti Munich Film Festival, book fair, Munich Art Biennale digelar disini. Lokasinya di kawasan bersejarah Rosenheimer Strasse di bibir sungai Isar, berjarak 5 km dari gedung pusat LMU, tempat perkuliahan yang sumpah keren banget. Di setiap Rabu sore dan Jumat siang anda bisa duduk santai menikmati sajian musik berkelas, sambil membuka akses Wifi gratis supercepat. Oh ya, menariknya gedung Gasteig bersebelahan dengan masjid kecil milik warga Turki.

Sumber Foto : Tribunewswiki.com

Next, kita ke Asia menuju pusat kota Seoul, Salah satu gedung teater multifungsi terbesar di Korea adalah Pusat Seni Pertunjukan Sejong, yang terletak di pusat kota Seoul dengan nama Sejong Center for the Performing Arts. Dengan luas interior 53, 202m2, sebuah kompleks seni terbesar di Korea Selatan yang terletak di Sejongno, sebuah jalan raya yang membelah kota Dinasti Jeoson. Pusat Kesenian Seoul ini berafiliasi dengan pusat seni kotapraja, dan dibuka pada tahun 1978, terdapat Orkestra Simfoni Seoul, Orkestra Musik Tradisional Korea Metropolitan Seoul, Paduan Suara Metropolitan Seoul, Grup Teater Metropolitan Seoul, Grup Musikal Metropolitan Seoul, Grup Tari Metropolitan Seoul, Grup Opera Metropolitan Seoul, Paduan Suara Anak Laki-laki dan Perempuan Metropolitan Seoul, dan Orkestra Simfoni Kaum Pemuda Seoul. Gedung utama pusat kesenian ini dapat menampung 3.800 orang, sedangkan orgel tiupan (pipe organ) di tempat ini merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Pusat Kesenian Seoul ini merupakan pusat seni dan budaya multidisiplin pertama di Korea. Dengan arsitekturnya yang indah, Gedung Opera memiliki tiga gedung teater yang terpisah. Gedung Teater Opera, dengan jumlah kursi 2.278, dilengkapi sedemikian rupa sebagai tempat pertunjukan opera dan balet yang besar, serta masih banyak lagi. Gedung Teater Towol, yang mampu menampung 669 penonton, merupakan gedung teater ukuran menengah yang digunakan untuk pertunjukan-pertunjukan sandiwara, opera-opera skala kecil, dan tarian modern. Gedung Teater Jayu yang dapat menampung maksimal 350 orang, adalah tempat untuk pertunjukan-pertunjukan eksperimental dan avant-garde.

So, Jika kamu menyukai seni dan sedang berada di Singapura, kamu bisa bertandang ke Esplanade, Pusat kesenian berupa gedung teater dan concert hall di tepi teluk yang megah. Esplanade merupakan pusat kesenian yang menjadi wadah pertunjukan kelas dunia. Memiliki ikon arsitektur cangkang kembar yang khas, tempat ini telah menampilkan lebih dari 49.000 pertunjukan, membuat tempat ini menjadi salah satu pusat kesenian tersibuk di dunia. Esplanade berlokasi di Merlion Park. Jam buka Esplanade sangat panjang, yakni sejak pukul 8 pagi hingga pukul setengah 12 malam. Esplanade menampilkan berbagai pertunjukan yang dapat disaksikan dengan gratis, dari pertunjukan musik, tari, teater, hingga seni visual. Esplanade dibangun dengan harapan dapat menjadi pusat kesenian yang diakui dunia dan dapat menghibur, mendidik, dan menginspirasi orang-orang. Pusat kesenian ini telah terbukti dapat menyedot banyak penonton setiap harinya.

 

Sumber Foto : Singapore Tourism Board

Sumber Foto : traveltribunews.com
Well, luar biasa yahh Pusat-pusat Kesenian Dunia ini, bagaimana dengan Indonesia. Kita punya Taman Ismail Marzuki dikenal sebagai area berkumpulnya para seniman menuangkan pikiran dan ekspresinya. Lokasinya terletak di salah satu sudut Jalan Cikini Raya. Di dalam kompleks Taman Ismail Marzuki terdapat 6 ruang teater modern, gedung arsip, bioskop, galeri dan balai pameran. Selain itu terdapat pula Planetarium Jakarta yang diresmikan oleh Presiden Soekarno pada 1964. Tidak sekadar arena pertunjukan, Taman Ismail Marzuki juga dikenal memiliki catatan sejarah dan saksi bisu perkembangan seni di Indonesia.

Bagaimana dengan Palu, Sulawesi Tengah ? yahh, kita punya Taman Budaya Sulawesi Tengah yang dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) tersendiri yang merupakan bagian dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dibawah Bidang Kebudayaan. Sayangnya di tahun 2017, UPT Taman Budaya dan UPT Museum dijadikan satu pengelolaannya karena adanya Permendagri Nomor 12 Tahun 2017. Sangat jauh yahh jika melakukan perbandingan dengan pusat-pusat kesenian di atas, namun kenapa tidak itu menjadi sebuah referensi bagi pemda, baik itu infrastrukturnya maupun pengelolaannya dan itu akan sangat sangat menarik apalagi setelah bencana menghantam Taman Budaya di tahun 2018.

Sebelum Bencana

Gedung Teater Tertutup, Dok. Pribadi (2018)

Pertunjukan lumayan sering ditemukan di taman budaya ini seperti pertunjukan tari, musik, teater dari beragam komunitas seni, sanggar kampus maupun sanggar sekolah, namun sifatnya temporer dan tidak rutin. Tentunya menyebabkan Taman Budaya Sulteng terlihat sepi terutama pada siang hari di jam kerja. Kurangnya kegiatan menarik yang dapat dilakukan di Taman Budaya Sulteng menjadi penyebab kurang aktifnya Taman Budaya ini. Meskipun ada kegiatan latihan dari pelaku seni setiap harinya, namun masyarakat umum kurang mengetahui kegiatan di Taman Budaya. Ini sebenarnya menjadi tanggung jawab UPT Taman Budaya Sulteng dalam menyusun program kegiatan dan bagaimana mempublikasikannya kepada masyarakat.

Dua tahun sebelum bencana (2016 – 2017), Taman Budaya Sulteng sangat kurang melakukan kegiatan pengembangan taman budaya, hanya berupa workshop itupun terbatas. Sedangkan pertunjukan, lebih banyak dilakukan oleh komunitas baik itu umum, kampus maupun sekolah secara pribadi maupun kolektif bukan menjadi bagian dari program rutin taman budaya dan selebihnya adalah kegiatan pemda dan kegiatan yang bersifat jejaring dari program pusat salah satunya adalah Parade Tari. Bahkan hadirnya kegiatan seni di Taman Budaya Sulteng dari tahun ke tahun itu tidak terkait dengan kegiatan tahunan kesenian dan kebudayan yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata sebagai upaya promosi kebudayaan seperti penggunaan Taman Budaya sebagai art space untuk event-event pariwisata, jadi seperti tak ada kordinasi antara Dinas Pariwisata dan Dikbud kala itu.

Bagian dalam Gedung Tertutup yang baru selesai direhab, Dok. Pribadi (2018)

Nyaris tidak ditemui peran Taman Budaya Sulteng ini sebagai ruang penyajian konservasi senibudaya, khususnya berkaitan dengan khasanah tradisi, agar masyarakat bisa mengetahui tentang kekayaan jenis-jenis seni tradisi yang dimiliki oleh masyarakat. Dalam kaitannya, penyajian karya-karya konservasi tersebut juga kuat hubungannya dengan konsep proses pencarian nilai-nilai baru yang berhubungan dengan sistem nilai tradisi. Dengan kata lain, karya-karya baru seni budaya dalam berbagai disiplin itu diharapkan berangkat dari ruang sejarah sosial lingkungan masyarakatnya melalui pemahaman, pelacakan dan riset-riset seni tradisi. 

Lokasi yang Strategis Namun Tak Bersinergi

Taman Budaya Sulawesi Tengah berada pada wilayah strategis karena letaknya sangat dekat dengan Teluk Palu dan kawasan ekonomi strategis. Terletak di Jl. Abdul Raqie Gelar Dato Karama, taman budaya ini dibangun diatas tanah seluas ± 3 ha dan diresmikan pada tahun 1992. Seiring berjalan waktu dalam perkembangannya, lokasinya berkurang menjadi ± 2 ha karena sebagian lahannya diambil alih dan digunakan oleh IAIN Palu (yang sekarang berubah nama menjadi UIN).

Kondisi fisik Taman Budaya Sulteng masih bisa digunakan meskipun bangunan dan lingkungannya terlihat kurang terawat. Taman Budaya Sulawesi Tengah terdiri dari beberapa bangunan, diantaranya terdapat Gedung Sekretariat (front office), Gedung Teater Tertutup yang selesai di rehab pada awal 2018, GOLNI (Gedung Olah Seni) gedung pertunjukan tua yang paling sering digunakan karena harganya terjangkau, Gedung Sanggar Musik dan Tari yang biasanya secara bergilir digunakan latihan oleh banyak kelompok, Gedung Sanggar Seni Teater yang kondisinya sangat memprihatinkan, Gedung Balai Seni yang juga lebih sering digunakan sebagai tempat latihan karena bentuknya yang sangat tidak kondusif untuk pertunjukan, ada Gedung Seni Rupa yang juga mulai difungsikan secara intensif sejak tahun 2012. Selain itu ada Mushola, Wisma Seni, area parkir yang luas dan Amphiteater yang terbuka namun kami lebih senang menyebutnya Bundaran hangat. 

Si Bundaran Hangat, Dok. Pribadi (2018)

Ada problematik lainnya yang terjadi sebelum bencana. Jika saat ini problem utama dari taman budaya adalah infrastruktur yang tidak jelas tahap pelaksanaannya dan menjadi kompleksitas dengan program yang tidak tersebarluaskan pada seniman. Namun sebelum bencana, Taman Budaya Sulteng mengalami banyak permasalahan besar bukan hanya pada infrastruktur saja, seperti : kelembagaan, sumber daya manusia, program dan anggaran, serta sarana dan prasarana.

Mari kita mengok pada persoalan Kelembagaannya : Belum adanya aplikasi UU Nomor 23 tahun 2014 (rev 2) mengenai kebudayaan adalah urusan wajib non-pelayanan dasar menjadi masalah utamanya, ditambah lagi institusi induk yang tidak seragam dan statusnya yang masih terkait dengan Permendagri nomor 12 tahun 2017. Sementara untuk Sumber Daya Manusianya : Kompetensi SDM Teknis Kebudayaan yang masih rendah terhadap kebudayaan itu sendiri. Untuk Program dan Anggaran : semua Taman Budaya di Indonesia masih dituntut PAD hingga saat ini, hal inilah yang membuka adanya komersialisasi di Taman Budaya Sulawesi Tengah demi adanya pemasukan.  Selain itu, Taman Budaya Sulteng masih minim program beserta daya inovasinya, programnya monoton dan kebanyakan adalah pengulangan dari tahun-tahun sebelumnya, dimana seniman tidak pernah dilibatkan dalam diskusi atau rapat koordinasi penyusunan program. Yang terakhir adalah sarana dan prasana : seperti yang saya tuliskan diatas bahwa ada beberapa bangunan/gedung yang belum memiliki standar pertunjukan yang baik, kondisi yang masih kurang memadai baik ruang maupun peralatan penunjang pertunjukan.

Catatan dari Bincang Seni #17

Bincang Seni merupakan salah satu program reguler dari Komunitas Seni Lobo, sebuah lembaga kesenian nirlaba yang bermarkas di Tawanjuka. Program ini digagas pertama kali pada tahun 2019 sebagai sebuah ruang diskusi terbuka yang membahas banyak hal terkait soalan seni dan kerja-kerja kebudayaan. Ruang yang bukan hanya sekedar diskusi, namun sharing serta berbagi pengetahuan. Pada hari Rabu, 7 Februari 2024 lalu, Komunitas Seni Lobo menggelar kembali program ini yang sudah memasuki seri diskusi ke 17, membahas tentang bagaiman nasib Taman Budaya Sulteng pasca Bencana. Menarik karena yang menjadi narasumbernya adalah Kepala Dinas Kebududayaan Prop. Sulteng, Kepala Bidang Pembinaan Tenaga dan Lembaga Budaya Dinas Kebudayaan Prop. Sulteng, plt. Kepala Taman Budaya Museum Sulawesi Tengah dan Ketua Dewan Kesenian Sulawesi Tengah. Turut hadir juga para seniman, pegiat seni budaya, pegiat literasi dan sastra, kawan-kawan musik serta media. 

Kadis Kebudayaan Sulteng, Dok. KSL (2023)

Ada poin yang perlu kita catat dan garis bawahi, yakni pernyataan dari Kadis Kebudayaan. Andi Kemal Lembah, SH, MH, selaku Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tengah mengatakan bahwa Unit Pelaksana Kebudayaan sudah harus terbentuk di tahun 2025, dimana pada tahun ini telah dikeluarkan Dokumen Pelaksanaan Pembangunan. Besar kemungkinan Unit Pengelola Taman Budaya akan terpisah dengan Museum. Diketahui kini Dinas Kebudayaan Sulawesi Tengah dipisahkan dengan Dinas Pendidikan, setelah dilakukan pembentukan struktur yang baru yang diatur melalui penetapan Peraturan Daerah Provinsi Sulteng Nomor 10 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2016 terkait pembentukan dan susunan Perda Prov. Sulawesi Tengah.

Kita belum tahu pasti apakah ini sudah berupa rumusan perda atau sejenisnya. Namun bisa jadi ini menjadi angin segar bahwa Kadis Kebudayaan pun menginginkan dua instansi harus kembali pada fungsinya masing-masing dan menjadi pelaksana teknis yang terpisah. Negara menggelomtorkan sejumlah anggaran Bantuan Operasional Sistem melalui DAK (Dana Alokasi Khusus) yang diperuntukkan bagi kegiatan atau program Taman Budaya dan Museum. Tahun 2019, Taman Budaya Museum Sulawesi Tenggara memperoleh DAK dengan pembagian 1,4 Miliar untuk Taman Budaya dan 456 Juta untuk Museum, beberapa Taman Budaya dan Museum di tanah air pun mendapatkan alokasi yang berbeda-beda nilainya. Namun lain halnya dengan Taman Budaya Sulawesi Tengah yang sejak 2019 tidak memperoleh DAK dengan alasan tidak ada bangunannya. Sementara diketahui bersama, bahwa seluruh bangunan Taman Budaya Sulteng yang berlokasi di Kampung Lere tersapu tsunami, tidakkah ada upaya untuk merehabilitasi atau merelokasi Taman Budaya? Memasuki tahun keenam pasca bencana, seluruh area Taman Budaya Sulteng masih sangat memprihatinkan dengan kondisi gedung yang rusak parah. Menunggu 2025 seperti pernyataan Kadis Kebudayaan, wahhh sangatlah lama sementara DAK yang diperuntukkan bagi kegiatan kesenian itu bisa memacu proses-proses intensif seniman dan pegiat seni di Sulawesi Tengah (yahh, itu pun kalau programnya merata dan tidak monoton, itu lagi, itu lagi). Sementara ada kabar bahwa UIN kembali ingin meminta lahan tersebut. Ngerinya lagi, para pemangku kepentingan daerah ini sepertinya masih bisa duduk tenang dengan hal urgensi seperti ini. Jadi pedoman pelaksana pembangunan Taman Budaya ini menurutku masih sebatas wacana karena belum ada peraturan turunan yang menguatkan. Sementara kita akan terus berpacu dengan waktu dan pada akhirnya para seniman/pegiat seni mencari bahkan mulai membangun ruang-ruang kreatifnya sendiri.

Neni Muhidin, Founder Nemu Buku, Dok. KSL (2023)
Ada tawaran menarik dari Neni Muhidin seorang pegiat literasi terkait kabar bahwa UIN meminta lahan Taman Budaya Sulawesi Tengah, yah kenapa tidak kita (seniman/pemda) yang menyurat ke UIN untuk menjadikan lahan mereka sebagai Taman Budaya karena, Taman Budaya yang ada saat ini tidak representatif, sementara bidang seni kita banyak. Neni juga menegaskan, jangan lagi ada komersialisasi Taman Budaya, izinkan seniman bisa mengaksesnya secara gratis untuk proses-proses kesenian. Sejak 2013, saya melihat bagaimana Taman Budaya turut dijadikan tempat pelatihan Satpam dan Diklat CPNS bahkan hampir setiap tahun akan selalu berseteru dengan pegiat seni yang sedang proses karena gedung terisi oleh mereka.  Senada pula yang dikemukakan oleh Eman Saja seniman teater dari Palu, jika Taman Budaya dibangun kembali harus ada perubahan sistem (fungsi) dan adanya keterbukaan program.

Sebenarnya usulan dari ibu Masyita Masuara, S.Pd, M.Si Kepala Bidang Pembinaan Tenaga dan Lembaga Budaya Dinas Kebudayaan Sulawesi Tengah bisa dipertimbangkan, bahwa bangunan Taman Budaya yang diterjang tsunami 2018 lalu bisa difungsikan kembali untuk sementara waktu sambil menunggu pelaksanaan pembangunan di tahun 2025, agar secara perlahan geliat kesenian mulai hidup kembali. 

Narasumber Bincang Seni, Dok. KSL (2023)

Tawaran Rekomendasi

Taman Budaya sebagai pusat kesenian di daerah yang bukan hanya ruang pertunjukan bagi karya yang ada. Namun, juga dianggap sebagai ruang laboratorium senibudaya yang dirumuskan untuk menjadi ruangnya seniman melakukan eksplorasi, eksperimentasi dan mampu melakukan kerja-kerja kolaboratif dan kolektif dengan berbagai disiplin kesenian. Disini kami selaku pegiat seni hanya memberikan masukan dan sebuah tawaran kepada pemangku kebijakan perihal keberlanjutan pembangunan Taman Budaya ini kedepannya.

(1) Perlu dilakukan koordinasi lintas kementerian yang berimbas pada pemda ini terkait juga tentang eksistensi taman budaya, dan perlu adanya koordinasi bersama pemda tentang nilai penting taman budaya terkait UU Pemajuan Kebudayaan; (2) Yang terpenting perlu adanya revisi perda tentang PAD dari Taman Budaya dan Pemda; (3) Harus ada usulan formasi ASN khusus taman budaya, bila perlu ASN tersebut harus mengikuti Bimtek, Magang, Residensi dan sertifikasi SDM Taman Budaya; (4) Dalam hal anggaran ada sinergi program pusat dan daerah serta optimalisasi DAK pada kegiatan kesenian.

Kita Perlu terus mengawal bagaimana proses penting ini akan berkembang diranah pemangku kebijakan, agar Taman Budaya tak benar-benar tenggelam oleh kepentingan-kepentingan yang mengatasnamakan kesenian dan kebudayaan.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar