Kerajaan Banawa hadir sebagai salah satu pusat peradaban di Sulawesi Tengah. Mulanya, pelabuhan di Donggala hanyalah berupa dermaga kecil tempat para nelayan lokal menambatkan perahunya. Pelabuhan ini sering menjadi persinggahan sementara perahu-perahu tradisional untuk mengisi perbekalan sebelum melanjutkan pelayaran. Nama Donggala pun tercatat dalam naskah-naskah lama yang di antaranya merupakan catatan perjalanan para petualang. Salah satunya adalah artikel dari J.V. Mills berjudul Chinesse Navigatiors in Insulinde about A.D. 1500 dalam Archipel (Vol.2, 1979) yang menyebutkan bahwa Donggala sudah dicatat dalam laporan dan panduan pelayaran Cina pada tahun 1430 (hlm. 79).
![]() |
Sumber Foto : Wikicommon |
Antonio de Paiva adalah orang Eropa pertama yang berhasil mencapai Sulawesi Tengah antara tahun 1541 - 1544. Ia adalah seorang pedagang Portugis yang telah lama menjalin relasi dengan bangsa Melayu dan menulis tentang kekayaan cendana di Donggala (Kallo, dkk, 1995). Semenjak itu, orang-orang Eropa, khususnya bangsa Portugis yang sebelumnya sering beroperasi di Maluku dan Timor, semakin berdatangan.
Portugis mulai berambisi untuk menguasai bandar niaga Donggala, hingga pada
tahun 1669 mereka menyerang kerajaan Banawa. Namun Donggala yang kala itu di
bawah kepemimpinan raja La Bugia (Pue Uva) mampu mempertahankannya. Selepas
Portugis, orang-orang Belanda pun yang datang ke Donggala. Awalnya, Belanda
menjalin relasi dengan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah, termasuk Banawa mereka
menawarkan bantuan dalam hal keamanan. Tawaran tersebut disambut baik karena
situasi pesisir Sulawesi dan perairan Selat Makassar saat itu kerap diganggu
gerombolan perompak dari Mindanao, Filipina.
Namun,
lama-kelamaan pengaruh Belanda semakin kuat. Mereka semakin mendapat keleluasaan
setelah membangun benteng atau loji di area kekuasaan Kerajaan Banawa maupun di
wilayah-wilayah lainnya di Sulawesi Tengah. Kerajaan Banawa yang selama ini
masih mampu menangkal setiap ancaman karena kecakapan rajanya, pada akhirnya
mulai melemah. Pemerintah Hindia Belanda pada akhirnya menguasai secara penuh
pelabuhan Donggala setelah menaklukan Raja Banawa ke-6, I Sandudogie pada tahun
1824 dengan cara memaksa untuk menandatangani kontrak dengan Pemerintah
Belanda, hingga mereka membangun Kantor Doane (Bea Cukai) dan beberapa
fasilitas perkantoran demi melancarkan monopoli perdagangan dan kekuasan di
segala hal. Selain Banawa, Belanda juga menaklukkan beberapa kerajaan lainnya
di kawasan itu, termasuk Palu dan Tawaeli (Mamar, 1984).
Sektor
perekonomian dikuasai secara penuh oleh pemerintah Belanda. Pelabuhan Donggala
yang melegenda itu pun akhirnya beralih tangan, namun Donggala masih bertahan
kendati di bawah kendali Belanda. Saat Kerajaan Banawa dipimpin Raja La Sa
Banawa I Sanggalea Dg Paloera (1845-1888), kota pelabuhan ini kerap disambangi
para petualang dunia. Salah satunya Joseph Conrad, seorang pengelana sekaligus
penulis asal Inggris kelahiran Polandia, seperti yang diungkap Maya Jasanoff
dalam The Dawn Watch: Joseph Conrad in a
Global World (2017), Ia menjadikan Donggala sebagai salah satu tempat
penjelajahan Nusantara (1858 - 1924) dan ia pun menjalin persahabatannya dengan
La Sabanawa I Sangalea Dg Paloera yakni Raja Banawa ke-7.
Sejak
awal abad 20, kedudukan Belanda makin kuat menjalankan kekuasannya di Donggala
hingga masuknya tentara Jepang tahun 1942 dan kembali setelah kemerdekaan
Indonesia diproklamasikan (1945-1949). Pada masa kemerdekaan itu, Donggala
masih tetap mengandalkan bandar lautnya dalam beberapa dekade sebagai pintu
gerbang pendistribusian barang-barang produksi ke berbagai kota di Sulawesi
Tengah. Donggala sebagai kota dan pelabuhan adalah ibarat satu jiwa dan raga
yang tak terpisahkan. Semenjak terjadinya pertempuran sengit yang berakhir
dengan kekalahan Belanda, sejak itu pula Jepang menguasai Donggala dan
menjadikan pelabuhan tersebut sebagai pusat kedudukan pejabat Jepang yang juga
membawahi Palu dan beberapa wilayah lainnya. Bahkan pelabuhan Donggala pun
pernah menjadi saksi bisu perjuangan di Sulawesi Tengah setelah Indonesia
merdeka dengan menurunkan bendera Belanda yang berkibar di halaman kantor Bea
Cukai pelabuhan Donggala. Tepat tanggal 21 November 1945, barisan Pemuda
Indonesia Merdeka turut memberikan perlawanan terhadap Belanda yang datang
kembali berkedok NICA (Jamrin AB, 2019).
Tahun
1949, saat penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia, Pelabuhan Donggala
belum sepenuhnya tenang. Pada tanggal 27 - 30 April 1958, bandar niaga ini
kembali di bombardir pesawat tempur Bomber B-26 dalam konfrontasi terkait
gerakan Perjuangan Rakyat Semesta atau Permesta. Pesawat tempur tersebut
merupakan milik Angkatan Udara Amerika yang mendukung gerakan Permesta.
Serangan udara terhadap Pelabuhan Donggala tersebut mengakibatkan lima kapal
perang RI tenggelam bersama peralatan perang, senjata, truk, tank, dan
perbekalan, serta menewaskan sejumlah anak buah kapal dan nahkoda. Peran
Pelabuhan Donggala, baik dalam sektor perdagangan maupun militer, masih krusial
hingga masa-masa itu. Namun, memasuki era Orde Baru, bandar niaga ini mulai
tergerus pengaruhnya, bahkan sekarat dan nyaris mati.
Sejak
1978 pemerintah Orde Baru mengalihkan fungsi dan status pelabuhan nasional dari
Donggala ke Pantoloan (Majalah Panji Masyarakat, 2000). Kebijakan ini dilakukan
atas dasar sejumlah pertimbangan tertentu namun sangat berdampak bagi Donggala.
Bandar dagang yang pernah berjaya dan sering dikunjungi kaum saudagar dari
seluruh penjuru bumi ini mulai ditinggalkan. Donggala bukan lagi pelabuhan
utama di Sulawesi Tengah yang berlangsung hingga era reformasi. Lebih pilunya
lagi, bekas simbol kemakmuran Kerajaan Banawa ini pun kembali porak poranda setelah
gempa bumi dan tsunami menerjang Donggala pada 28 September 2018 lalu.
![]() |
Sumber Foto : Donggala Heritage |
Tahun
1975, pemerintah menginisiasi untuk membangun Pelabuhan baru yang berseberangan
dengan lokasi Pelabuhan Donggala yakni di timur Teluk Palu, persisnya Pantoloan
(Isnaeni & Pagessa, 2013). Gagasan pemerintah memindahkan pelabuhan ke
Pantoloan tercetus karena pelabuhan Donggala dianggap sudah tidak layak, disertai
adanya kendala akibat wilayah laut di sekitar Pelabuhan Donggala yang tergolong
dangkal hingga mengakibatkan kapal-kapal tidak bisa merapat langsung di
dermaga. Maka, setiap penumpang dan barang bawaan yang akan menjangkau bibir
pantai harus dipindahkan ke getek bertenaga motor.
Pelabuhan
Donggala pun perlahan menjadi sepi dengan hadirnya pelabuhan baru di Sulawesi
Tengah yaitu Pelabuhan Pantoloan yang tentunya di operasikan untuk menggantikan
tugas dari Pelabuhan Donggala terdahulu yakni melayani kapal-kapal barang dan
penumpang. Pada tahun 1978, Pelabuhan Pantoloan pun diresmikan dan di tahun
1985 dilakukan serah terima operasional dan pelabuhan Donggala diserahkan untuk
melayani kegiatan pelayaran rakyat di bawah pengawasan Pelabuhan Pantoloan yang
masuk dalam wilayah kerja PT. Pelindo IV yang berpusat di Makassar.
Pertimbangan
geografis dan keterbatasan lahan untuk sarana dan prasarana yang memadai bagi
kelancaran arus kapal, penumpang, barang dan hewan ternak menjadi pertimbangan
utama berpindahnya pelabuhan. Sebuah kemunduran bila peninggalan sejarah yang
turut menjadi saksi perjalanan kemerdekaan bangsa akhirnya menjadi tidak
diperhatikan lagi. Sekalipun pelabuhan Donggala saat ini hanya melayani
pelayaran lokal namun wilayah ini bisa dijadikan sebuah Memorial Study bisa serupa museum sejarah, ruang arsip atau pun
monumen. Agar kejayaan pelabuhan ini di masa lampau menjadi sebuah pewarisan
nilai moral dan edukasi bagi anak-anak generasi muda bukan hanya di Donggala
namun di Sulawesi Tengah secara umum bahkan di Indonesia. Sedikit sekali,
jejak-jejak peninggalan sejarah di Sulawesi Tengah terjaga dan terawat dengan
baik serta menjadi ruang pembelajaran bagi masyarakat sekitar, bisa jadi karena
peerintah daerah belum memprioritaskan pewarisan sejarah perjuangan di daerah
berupa tinggalan benda atau bangunan untuk dijadikan media belajar sejarah dan
budaya. (IL)
**Tulisan ini merupakan Karya Tulis Bimtek PenulisanSejarah olehKemdikbud, 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar