Senin, 12 Februari 2024

Pelabuhan Donggala; Dulu dan Kini

Kerajaan Banawa hadir sebagai salah satu pusat peradaban di Sulawesi Tengah. Mulanya, pelabuhan di Donggala hanyalah berupa dermaga kecil tempat para nelayan lokal menambatkan perahunya. Pelabuhan ini sering menjadi persinggahan sementara perahu-perahu tradisional untuk mengisi perbekalan sebelum melanjutkan pelayaran. Nama Donggala pun tercatat dalam naskah-naskah lama yang di antaranya merupakan catatan perjalanan para petualang. Salah satunya adalah artikel dari J.V. Mills berjudul Chinesse Navigatiors in Insulinde about A.D. 1500 dalam Archipel (Vol.2, 1979) yang menyebutkan bahwa Donggala sudah dicatat dalam laporan dan panduan pelayaran Cina pada tahun 1430 (hlm. 79).

Sumber Foto : Wikicommon

Lokasi Donggala yang strategis, terletak di tengah jalur niaga Selat Makassar, membuatnya cukup mudah diakses dari utara, termasuk oleh para pelaut Cina, yang hendak menuju Makassar dan Jawa atau yang sedang dalam perjalanan pulang dari Sumba dan Timor. Salah satu daya tarik Banawa kala itu adalah pohon cendana. Donggala pun mulai ramai dikunjungi kaum saudagar dari berbagai macam bangsa yang tergiur untuk mendapatkan cendana dari Donggala disertai hasil bumi lainnya, seperti rotan, damar, kelapa, serta rempah-rempah.

Antonio de Paiva adalah orang Eropa pertama yang berhasil mencapai Sulawesi Tengah antara tahun 1541 - 1544. Ia adalah seorang pedagang Portugis yang telah lama menjalin relasi dengan bangsa Melayu dan menulis tentang kekayaan cendana di Donggala (Kallo, dkk, 1995). Semenjak itu, orang-orang Eropa, khususnya bangsa Portugis yang sebelumnya sering beroperasi di Maluku dan Timor, semakin berdatangan. 

Portugis mulai berambisi untuk menguasai bandar niaga Donggala, hingga pada tahun 1669 mereka menyerang kerajaan Banawa. Namun Donggala yang kala itu di bawah kepemimpinan raja La Bugia (Pue Uva) mampu mempertahankannya. Selepas Portugis, orang-orang Belanda pun yang datang ke Donggala. Awalnya, Belanda menjalin relasi dengan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah, termasuk Banawa mereka menawarkan bantuan dalam hal keamanan. Tawaran tersebut disambut baik karena situasi pesisir Sulawesi dan perairan Selat Makassar saat itu kerap diganggu gerombolan perompak dari Mindanao, Filipina.

Namun, lama-kelamaan pengaruh Belanda semakin kuat. Mereka semakin mendapat keleluasaan setelah membangun benteng atau loji di area kekuasaan Kerajaan Banawa maupun di wilayah-wilayah lainnya di Sulawesi Tengah. Kerajaan Banawa yang selama ini masih mampu menangkal setiap ancaman karena kecakapan rajanya, pada akhirnya mulai melemah. Pemerintah Hindia Belanda pada akhirnya menguasai secara penuh pelabuhan Donggala setelah menaklukan Raja Banawa ke-6, I Sandudogie pada tahun 1824 dengan cara memaksa untuk menandatangani kontrak dengan Pemerintah Belanda, hingga mereka membangun Kantor Doane (Bea Cukai) dan beberapa fasilitas perkantoran demi melancarkan monopoli perdagangan dan kekuasan di segala hal. Selain Banawa, Belanda juga menaklukkan beberapa kerajaan lainnya di kawasan itu, termasuk Palu dan Tawaeli (Mamar, 1984).

Sektor perekonomian dikuasai secara penuh oleh pemerintah Belanda. Pelabuhan Donggala yang melegenda itu pun akhirnya beralih tangan, namun Donggala masih bertahan kendati di bawah kendali Belanda. Saat Kerajaan Banawa dipimpin Raja La Sa Banawa I Sanggalea Dg Paloera (1845-1888), kota pelabuhan ini kerap disambangi para petualang dunia. Salah satunya Joseph Conrad, seorang pengelana sekaligus penulis asal Inggris kelahiran Polandia, seperti yang diungkap Maya Jasanoff dalam The Dawn Watch: Joseph Conrad in a Global World (2017), Ia menjadikan Donggala sebagai salah satu tempat penjelajahan Nusantara (1858 - 1924) dan ia pun menjalin persahabatannya dengan La Sabanawa I Sangalea Dg Paloera yakni Raja Banawa ke-7.

Sejak awal abad 20, kedudukan Belanda makin kuat menjalankan kekuasannya di Donggala hingga masuknya tentara Jepang tahun 1942 dan kembali setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan (1945-1949). Pada masa kemerdekaan itu, Donggala masih tetap mengandalkan bandar lautnya dalam beberapa dekade sebagai pintu gerbang pendistribusian barang-barang produksi ke berbagai kota di Sulawesi Tengah. Donggala sebagai kota dan pelabuhan adalah ibarat satu jiwa dan raga yang tak terpisahkan. Semenjak terjadinya pertempuran sengit yang berakhir dengan kekalahan Belanda, sejak itu pula Jepang menguasai Donggala dan menjadikan pelabuhan tersebut sebagai pusat kedudukan pejabat Jepang yang juga membawahi Palu dan beberapa wilayah lainnya. Bahkan pelabuhan Donggala pun pernah menjadi saksi bisu perjuangan di Sulawesi Tengah setelah Indonesia merdeka dengan menurunkan bendera Belanda yang berkibar di halaman kantor Bea Cukai pelabuhan Donggala. Tepat tanggal 21 November 1945, barisan Pemuda Indonesia Merdeka turut memberikan perlawanan terhadap Belanda yang datang kembali berkedok NICA (Jamrin AB, 2019).

Tahun 1949, saat penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia, Pelabuhan Donggala belum sepenuhnya tenang. Pada tanggal 27 - 30 April 1958, bandar niaga ini kembali di bombardir pesawat tempur Bomber B-26 dalam konfrontasi terkait gerakan Perjuangan Rakyat Semesta atau Permesta. Pesawat tempur tersebut merupakan milik Angkatan Udara Amerika yang mendukung gerakan Permesta. Serangan udara terhadap Pelabuhan Donggala tersebut mengakibatkan lima kapal perang RI tenggelam bersama peralatan perang, senjata, truk, tank, dan perbekalan, serta menewaskan sejumlah anak buah kapal dan nahkoda. Peran Pelabuhan Donggala, baik dalam sektor perdagangan maupun militer, masih krusial hingga masa-masa itu. Namun, memasuki era Orde Baru, bandar niaga ini mulai tergerus pengaruhnya, bahkan sekarat dan nyaris mati.

Sejak 1978 pemerintah Orde Baru mengalihkan fungsi dan status pelabuhan nasional dari Donggala ke Pantoloan (Majalah Panji Masyarakat, 2000). Kebijakan ini dilakukan atas dasar sejumlah pertimbangan tertentu namun sangat berdampak bagi Donggala. Bandar dagang yang pernah berjaya dan sering dikunjungi kaum saudagar dari seluruh penjuru bumi ini mulai ditinggalkan. Donggala bukan lagi pelabuhan utama di Sulawesi Tengah yang berlangsung hingga era reformasi. Lebih pilunya lagi, bekas simbol kemakmuran Kerajaan Banawa ini pun kembali porak poranda setelah gempa bumi dan tsunami menerjang Donggala pada 28 September 2018 lalu.

Sumber Foto : Donggala Heritage
Pelabuhan Donggala merupakan pelabuhan pertama yang beroperasi sebelum adanya Pelabuhan Pantoloan. Perdagangan menjadikan Donggala sebagai ruang interaksi beragam suku bangsa. Terdapat beberapa suku bangsa yang secara geografis berdekatan dengan Donggala yang mempengaruhi pola interkasi tersebut yakni perdagangan. Kolonial Belanda menjadikan Donggala yang berada di tengah jalur Selat Makassar sebagai posisi yang strategis untuk menguasai wilayah tersebut sekaligus menunjang kebijakan perdagangan.


Tahun 1975, pemerintah menginisiasi untuk membangun Pelabuhan baru yang berseberangan dengan lokasi Pelabuhan Donggala yakni di timur Teluk Palu, persisnya Pantoloan (Isnaeni & Pagessa, 2013). Gagasan pemerintah memindahkan pelabuhan ke Pantoloan tercetus karena pelabuhan Donggala dianggap sudah tidak layak, disertai adanya kendala akibat wilayah laut di sekitar Pelabuhan Donggala yang tergolong dangkal hingga mengakibatkan kapal-kapal tidak bisa merapat langsung di dermaga. Maka, setiap penumpang dan barang bawaan yang akan menjangkau bibir pantai harus dipindahkan ke getek bertenaga motor.

Pelabuhan Donggala pun perlahan menjadi sepi dengan hadirnya pelabuhan baru di Sulawesi Tengah yaitu Pelabuhan Pantoloan yang tentunya di operasikan untuk menggantikan tugas dari Pelabuhan Donggala terdahulu yakni melayani kapal-kapal barang dan penumpang. Pada tahun 1978, Pelabuhan Pantoloan pun diresmikan dan di tahun 1985 dilakukan serah terima operasional dan pelabuhan Donggala diserahkan untuk melayani kegiatan pelayaran rakyat di bawah pengawasan Pelabuhan Pantoloan yang masuk dalam wilayah kerja PT. Pelindo IV yang berpusat di Makassar.

Pertimbangan geografis dan keterbatasan lahan untuk sarana dan prasarana yang memadai bagi kelancaran arus kapal, penumpang, barang dan hewan ternak menjadi pertimbangan utama berpindahnya pelabuhan. Sebuah kemunduran bila peninggalan sejarah yang turut menjadi saksi perjalanan kemerdekaan bangsa akhirnya menjadi tidak diperhatikan lagi. Sekalipun pelabuhan Donggala saat ini hanya melayani pelayaran lokal namun wilayah ini bisa dijadikan sebuah Memorial Study bisa serupa museum sejarah, ruang arsip atau pun monumen. Agar kejayaan pelabuhan ini di masa lampau menjadi sebuah pewarisan nilai moral dan edukasi bagi anak-anak generasi muda bukan hanya di Donggala namun di Sulawesi Tengah secara umum bahkan di Indonesia. Sedikit sekali, jejak-jejak peninggalan sejarah di Sulawesi Tengah terjaga dan terawat dengan baik serta menjadi ruang pembelajaran bagi masyarakat sekitar, bisa jadi karena peerintah daerah belum memprioritaskan pewarisan sejarah perjuangan di daerah berupa tinggalan benda atau bangunan untuk dijadikan media belajar sejarah dan budaya. (IL)


**Tulisan ini merupakan Karya Tulis Bimtek PenulisanSejarah olehKemdikbud,  2021


Tidak ada komentar:

Posting Komentar