Senin, 12 Februari 2024

Toli-toli ; Kehadiran Negeri Cengkeh yang Baru

(Dituliskan untuk Lomba Karya Tulis Artikel Jalur Rempah oleh Kemdikbud, 2021 - menjadi 15 besar tulisan terbaik)

Menurut legenda, kata Tolitoli berasal dari kata Totolu yang artinya tiga. Dimaksudkan berasal dari Tiga Manusia Kayangan yang menjelma ke bumi, masing-masing mereka adalah Olisan Bulan (bambu emas) dikenal sebagai Tau Dei Baolan atau Tamadika Baolan, Ue Saka  (sejenis rotan) dikenal sebagai Tau Dei Galang atau Tamadika Dei Galang dan seorang Putri Bumbung Lanjat (puncak pohon langsat) dikenal sebagai Tau Dei Bumbung Lanjat atau Boki Bulan.

 

Sumber Foto : Berdikari Online
Toli-toli yang berasal dari kata Totolu (Tau Tolu) yang artinya tiga (tiga orang) yang kemudian sebutan ini berubah menjadi Tontoli sebagaimana yang tertulis dalam Lange Contract 5 Juli 1858 yang ditandatangani oleh Dirk Francois dari Belanda dengan Raja Bantilan Syafiuddin. Kemudian berubah menjadi Tolitoli pada tahun 1918 seperti yang tertulis dalam Korte Verklaring yang ditandatangani oleh Raja Haji Mohammad Ali dengan Pemerintah Hindia Belanda yang saat itu ibukota kerajaan berpusat di Nalu. 

Toli-toli dan Cengkeh

Kota Tolitoli letaknya cukup strategis dengan arah membujur melalui kaki bukit Panasakan sampai Gunung Tuweley yang saat ini di atas gunung-gunung tersebut bertaburan tanaman cengkeh yang membuat kota Tolitoli menjadi indah dan menarik.


Cerita mengenai cengkeh di Tolitoli sangat melekat pada masyarakat di Sulawesi Tengah. Mulai dari bukit hingga lembah selalu ditemui pohon-pohon cengkeh, bahkan Tolitoli pernah menjadi daerah dengan pohon cengkeh terbanyak di Indonesia pada kurun 30 - 40 tahun silam. Sepuluh juta lebih pohon cengkeh terhampar luas dan Tolitoli pun kala itu diresmikan sebagai sebuah negeri cengkeh yang ditandai dengan pelelangan cengkeh pada 6 Januari 1983.

 

Cengkeh (Eugenis Aromatica O.K atau Eugenia Caryophilata Thunb Caryophyllus Aromaticois L) mengubah cara pandang masyarakat yang dahulunya statis menjadi lebih dinamis. Kekayaan yang dihasilkan oleh cengkeh ini menjadi hal yang ditonjolkan oleh Tolitoli yang sebelumnya terisolasi sejak lama dan jauh dari perkembangan. Dari cengkeh ini pula, Tolitoli berhasil mengajak sekaligus mengarahkan masyarakat mengelola cengkeh. Para penduduk dari provinsi lain pun mulai berdatangan untuk mendiami Tolitoli.

 

Tumbuhnya cengkeh di daerah ini dimulai ketika pada tahun 1934. Sekitar setengah abad yang lalu seorang dari Sangir Talaud (Y.H.L. Tatontos) membawa serta menanam  sekitar 100 pohon cengkeh type Sikotok di kampung Panasakan Tolitoli yang berasal dari bibit pertanian di Manado. Nyatanya, cengkeh tersebut tumbuh subur dan mampu dikembangbiakkan secara baik dan teratur. Nenek moyang cengkeh pemula itu  kini masih ada yang hidup namun tersisa 17 pohon di kawasan Panasakan. Usaha penanaman cengkeh di kawasan ini dikembangkan lagi oleh beberapa orang petani pada tahun 1950 dengan cara yang masih tradisional.

 

Jalur Cengkeh di Indonesia

Cengkeh merupakan salah satu rempah asli Indonesia. Keharuman dan kehangatan cengkeh membuatnya menjadi rebutan bangsa Eropa. Sejak abad ke-4, pohon cengkeh telah dimanfaatkan yang kemudian terus berkembang, sampai pada abad 17 hingga 18, harga cengkeh pun melonjak tinggi. Tak hanya khas sebagai sajian bumbu kuliner, rempah yang juga dikenal sebagai obat penyembuh berbagai penyakit ini juga digunakan sebagai bahan rokok kretek.

 

Cengkeh merupakan jenis tumbuhan tropis yang tumbuh di wilayah panas dengan pasokan air yang cukup. Namun, cengkeh tidak dapat hidup di musim kemarau panjang sekalipun dapat tumbuh di kondisi panas. Uniknya, semakin tua umur dari tanaman cengkeh ini maka akan semakin baik kualitas biji yang dihasilkan. Keunikan yang lain adalah populasinya yang stabil karena tidak masuk dalam kategori tumbuhan apapun. Cengkeh yang kaya manfaat ini menjadi salah satu tanaman yang banyak dibudidayakan di tanah air.

 

Cengkeh menjadi salah satu sejarah perdagangan, bukan hanya di nusantara namun telah dikenal sejak ribuan tahun silam. Cengkeh telah dikenal sejak jaman Dinasti Han, dimana cengkeh digunakan sebagai penyegar nafas dengan cara mengunyahnya. Selama abad pertengahan, cengkeh telah banyak diperjualbelikan terutama oleh pelaut-pelaut di Timur Tengah. Jaringan perdagangan pun semakin ramai dengan kedatangan bangsa Eropa pada awal abad ke-15. Jaringan ini sekaligus memunculkan bandar-bandar besar sebagai pelabuhan utama niaga yang terkoneksi satu sama lain.

 

Sejak kedatangan bangsa Eropa, peran pedagang Nusantara, Arab, maupun Cina dalam jaringan perdagangan rempah-rempah mulai terancam dan melemah akibat diambil alih oleh pedagang-pedagang Eropa. Keuntungan besar dalam perdagangan rempah-rempah tentunya menjadi pemicu bagi para pedagang Eropa untuk mendapatkan komoditi tersebut salah satunya adalah cengkeh. Pada abad 16, VOC mulai memonopoli perdagangan cengkeh dan menghasilkan keuntungan yang besar. Bahkan VOC pun menempatkan markas besarnya di Ternate selama tiga periode dikarenakan komoditi cengkeh yang dianggap sangat strategis.

 

Bukan hanya bernilai ekonmis, cengkeh menjadi sebuah pembabakan kolonialisme yang terjadi di tanah air. Periode monopoli cengkeh ini dimulai saat Belanda mulai menerapkan kebijakan pemusatan produksi cengkeh di Maluku pada abad ke-17 hingga abad ke-19. Sebelum kedatangan bangsa Eropa, perdagangan rempah berpusat di Ternate dan sekitarnya juga berada di Kepulauan Banda. Kedua wilayah ini awalnya melakukan kontak dengan pedagang Cina, Arab juga pedagang-pedagang Nusantara. Cengkeh mulai menyebar ke wilayah selatan yakni Pulau Ambon dan Seram sekitar tahun 1475, kala itu penduduk pribumi mulai membuka lahan kebun cengkeh dalam ukuran kecil. Wilayah ini pun kemudian menjadi pusat perdagangan cengkeh pada awal abad ke-17.

 

Selama kurun waktu 47 tahun (1605 – 1652), Belanda terus melakukan berbagai strategi dan upaya untuk memantapkan kebijakan monopoli cengkeh. Belanda menutup akses para pedagang Nusantara serta meredam perlawanan para penguasa lokal. Belanda pun menjadi penguasa tunggal atas komoditi cengkeh karena perdagangan global telah mereka kuasai.

 

Sejak saat itu, Belanda selalu berupaya mempertahankan produksi cengkeh di Maluku agar harga jualnya tidak turun atau menjadi rendah khususnya di Eropa sebagai pasar utama komoditi rempah-rempah. Bahkan, Belanda melanjutkan ekspedisi Hongietochten (kebijakan patroli pelayaran untuk tidak menjual hasil produksi selain kepada VOC) agar keseimbangan produksi cengkeh tetap bertahan.

 

Awalnya, cengkeh hanya tumbuh di 5 pulau kecil di Kepulauan Maluku, kemudian, mulai menyebar ke wilayah lainnya di Indonesia termasuk Tolitoli. Di luar dugaan, populasi cengkeh di Tolitoli sangat mengejutkan. Penanaman cengkeh di daerah ini selain menggunakan bibit-bibit dari pemerintah juga masih menggunakan bibit yang di tanam oleh Y.H.L. Tantontos (1934) dan E. Tabang-Kanasang (1950).


Naik Turunnya Produksi Cengkeh

Pada tahun 1982, jumlah cengkeh di Tolitoli pun mencapai sepuluh juta pohon lebih dan dalam beberapa tahun berikutnya tolitoli menjadi penghasil cengkeh utama di Indonesia. Walaupun bibit-bibit cengkeh yang di tanam di daerah ini tidak banyak berbeda dengan daerah lain, namun tanaman cengkeh di Tolitoli memiliki spesifikasi tersendiri,  diantaranya bisa panen dua kali dalam setahun. Tolitoli sendiri hingga tahun1970 hampir 90% daerahnya masih merupakan hutan dan rawa-rawa yang menjadi tantangan berat untuk pengembangan ibukota kabupaten kala itu, sehingga pemerintah daerah mengambil inisiatif dan berkreasi di tengah-tengah bergelimangnya air rawa serta lebatnya semak belukar. Pemerintah daerah Tolitoli kala itu juga mulai mengawasi daerah yang menjadi lahan cengkeh karena banyak masyarakat membuka lahan baru dengan membabat gundul hutan dan rawa, akibatnya terjadi banjir besar yang mengakibatkan ibukota Tolitoli turut menerima dampaknya.

 

Tugu Cengkeh di Kota Tolitoli

Kabupaten Tolitoli yang mempunyai wilayah seluas 4.079,77 km², berada dalam 10 wilayah kecamatan yang terletak pada ketinggian 0-2.500 meter di atas permukaan laut. Kondisi ini merupakan salah satu potensi pengembangan komoditas cengkeh di Kabupaten Tolitoli. Jumlah keseluruhan luas lahan yang ada di Kabupaten Tolitoli tersebut dikatakan cukup luas dan mempunyai potensi yang sangat besar yakni 37.720 ha dan tingkat produktivitas sebesar 10.271 ton/ha sehingga pembudidayaan tanaman cengkeh menjadi salah satu sumber pendapatan sebagian besar penduduk di kabupaten ini. Pada tahun 2002 Tolitoli menghasilkan 6.328 Ton cengkeh, Tahun 2003 menghasilkan 1582 Ton, Lalu Tahun 2004 menghasilkan sekitar 1.604 Ton. Tahun 2005 sebanyak 2.245 Ton dan 2006 tetap tinggi yakni 2.133 Ton. Dari kaki Panasakan samapai ke kaki Gunung Tuweley sekitar 28.000 hektar, terhampar perkebunan cengkeh.

 

Namun di awal tahun 2020, harga cengkeh pun anjlok membuat sejumlah petani menjerit. Harga cengkeh yang menjadi primadona hanya berada pada kisaran Rp. 59.000/kg. padahal di tahun sebelumnya berada di harga Rp. 86.000/kg. Tentunya penurunan berdampak pada pengeluaran petani selama proses panen. Beberapa petani

Bahkan menduga ada permainan dari oknum pengusaha dalam mengatur harga cengkeh tersebut. Tentunya, jika pemerintah tidak mengantisipasi gejolak harga cengkeh yang terus mengalami penurunan, akan berpengaruh pada tingkat pendapatan petani. Kondisi ini akan membuat petani terpaksa menjual hasil perkebunannya untuk memenuhi kebutuhan hidup di tengah pandemi. Cukup ironis bukan? Daerah yang dikenal sebagai Kota Cengkeh dan menjadi komoditas andalan, justru kesejahteraan petaninya masih minim perhatian.


Referensi :

  1. Arsip Daerah Propinsi Sulawesi Tengah. 2000. Kabupaten Tolitoli, Profil dan Data. Badan Perpustakaan Daerah Propinsi Sulawesi Tengah.
  2.  Leirissa, R.Z. 1973. Kebijakan VOC untuk Mendapatkan Monopoli Perdagangan Cengkih di Maluku Tengah antara Tahun-Tahun 1615 dan 1652, dalam Bunga Rampai Sejarah Maluku, hal. 84-115. Jakarta: Lembaga Penelitian Sejarah Maluku.
  3. Marding, dkk. 2020. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Cengkeh di Tolitoli. Palu. Universitas Tadulako.
  4. Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
  5. Tim Peneliti dan Penyusun Data Daerah. 1996. Profil Buol Tolitoli. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar