(Dituliskan untuk Lomba Karya Tulis Artikel Jalur Rempah oleh Kemdikbud, 2021 - menjadi 15 besar tulisan terbaik)
Menurut legenda, kata Tolitoli berasal dari kata Totolu yang artinya tiga. Dimaksudkan berasal dari Tiga Manusia Kayangan yang menjelma ke bumi, masing-masing mereka adalah Olisan Bulan (bambu emas) dikenal sebagai Tau Dei Baolan atau Tamadika Baolan, Ue Saka (sejenis rotan) dikenal sebagai Tau Dei Galang atau Tamadika Dei Galang dan seorang Putri Bumbung Lanjat (puncak pohon langsat) dikenal sebagai Tau Dei Bumbung Lanjat atau Boki Bulan.
![]() |
Sumber Foto : Berdikari Online |
Toli-toli dan Cengkeh
Kota
Tolitoli letaknya cukup strategis dengan arah membujur melalui kaki bukit
Panasakan sampai Gunung Tuweley yang saat ini di atas gunung-gunung tersebut
bertaburan tanaman cengkeh yang membuat kota Tolitoli menjadi indah dan
menarik.
Cerita
mengenai cengkeh di Tolitoli sangat melekat pada masyarakat di Sulawesi Tengah.
Mulai dari bukit hingga lembah selalu ditemui pohon-pohon cengkeh, bahkan
Tolitoli pernah menjadi daerah dengan pohon cengkeh terbanyak di Indonesia pada
kurun 30 - 40 tahun silam. Sepuluh juta lebih pohon cengkeh terhampar luas dan
Tolitoli pun kala itu diresmikan sebagai sebuah negeri cengkeh yang ditandai
dengan pelelangan cengkeh pada 6 Januari 1983.
Cengkeh
(Eugenis Aromatica O.K atau Eugenia Caryophilata Thunb Caryophyllus Aromaticois
L) mengubah cara pandang masyarakat yang dahulunya statis menjadi lebih
dinamis. Kekayaan yang dihasilkan oleh cengkeh ini menjadi hal yang ditonjolkan
oleh Tolitoli yang sebelumnya terisolasi sejak lama dan jauh dari perkembangan.
Dari cengkeh ini pula, Tolitoli berhasil mengajak sekaligus mengarahkan
masyarakat mengelola cengkeh. Para penduduk dari provinsi lain pun mulai berdatangan
untuk mendiami Tolitoli.
Tumbuhnya
cengkeh di daerah ini dimulai ketika pada tahun 1934. Sekitar setengah abad
yang lalu seorang dari Sangir Talaud (Y.H.L. Tatontos) membawa serta
menanam sekitar 100 pohon cengkeh type
Sikotok di kampung Panasakan Tolitoli yang berasal dari bibit pertanian di
Manado. Nyatanya, cengkeh tersebut tumbuh subur dan mampu dikembangbiakkan
secara baik dan teratur. Nenek moyang cengkeh pemula itu kini masih ada yang hidup namun tersisa 17
pohon di kawasan Panasakan. Usaha penanaman cengkeh di kawasan ini dikembangkan
lagi oleh beberapa orang petani pada tahun 1950 dengan cara yang masih
tradisional.
Jalur Cengkeh di Indonesia
Cengkeh
merupakan salah satu rempah asli Indonesia. Keharuman dan kehangatan cengkeh
membuatnya menjadi rebutan bangsa Eropa. Sejak abad ke-4, pohon cengkeh telah
dimanfaatkan yang kemudian terus berkembang, sampai pada abad 17 hingga 18,
harga cengkeh pun melonjak tinggi. Tak hanya khas sebagai sajian bumbu kuliner,
rempah yang juga dikenal sebagai obat penyembuh berbagai penyakit ini juga
digunakan sebagai bahan rokok kretek.
Cengkeh
merupakan jenis tumbuhan tropis yang tumbuh di wilayah panas dengan pasokan air
yang cukup. Namun, cengkeh tidak dapat hidup di musim kemarau panjang sekalipun
dapat tumbuh di kondisi panas. Uniknya, semakin tua umur dari tanaman cengkeh
ini maka akan semakin baik kualitas biji yang dihasilkan. Keunikan yang lain
adalah populasinya yang stabil karena tidak masuk dalam kategori tumbuhan
apapun. Cengkeh yang kaya manfaat ini menjadi salah satu tanaman yang banyak dibudidayakan
di tanah air.
Cengkeh
menjadi salah satu sejarah perdagangan, bukan hanya di nusantara namun telah dikenal
sejak ribuan tahun silam. Cengkeh telah dikenal sejak jaman Dinasti Han, dimana
cengkeh digunakan sebagai penyegar nafas dengan cara mengunyahnya. Selama abad
pertengahan, cengkeh telah banyak diperjualbelikan terutama oleh pelaut-pelaut
di Timur Tengah. Jaringan perdagangan pun semakin ramai dengan kedatangan
bangsa Eropa pada awal abad ke-15. Jaringan ini sekaligus memunculkan
bandar-bandar besar sebagai pelabuhan utama niaga yang terkoneksi satu sama
lain.
Sejak kedatangan bangsa Eropa, peran pedagang Nusantara, Arab, maupun Cina dalam jaringan perdagangan rempah-rempah mulai terancam dan melemah akibat diambil alih oleh pedagang-pedagang Eropa. Keuntungan besar dalam perdagangan rempah-rempah tentunya menjadi pemicu bagi para pedagang Eropa untuk mendapatkan komoditi tersebut salah satunya adalah cengkeh. Pada abad 16, VOC mulai memonopoli perdagangan cengkeh dan menghasilkan keuntungan yang besar. Bahkan VOC pun menempatkan markas besarnya di Ternate selama tiga periode dikarenakan komoditi cengkeh yang dianggap sangat strategis.
Bukan
hanya bernilai ekonmis, cengkeh menjadi sebuah pembabakan kolonialisme yang
terjadi di tanah air. Periode monopoli cengkeh ini dimulai saat Belanda mulai
menerapkan kebijakan pemusatan produksi cengkeh di Maluku pada abad ke-17
hingga abad ke-19. Sebelum kedatangan bangsa Eropa, perdagangan rempah berpusat
di Ternate dan sekitarnya juga berada di Kepulauan Banda. Kedua wilayah ini
awalnya melakukan kontak dengan pedagang Cina, Arab juga pedagang-pedagang
Nusantara. Cengkeh mulai menyebar ke wilayah selatan yakni Pulau Ambon dan
Seram sekitar tahun 1475, kala itu penduduk pribumi mulai membuka lahan kebun
cengkeh dalam ukuran kecil. Wilayah ini pun kemudian menjadi pusat perdagangan
cengkeh pada awal abad ke-17.
Selama
kurun waktu 47 tahun (1605 – 1652), Belanda terus melakukan berbagai strategi
dan upaya untuk memantapkan kebijakan monopoli cengkeh. Belanda menutup akses
para pedagang Nusantara serta meredam perlawanan para penguasa lokal. Belanda
pun menjadi penguasa tunggal atas komoditi cengkeh karena perdagangan global
telah mereka kuasai.
Sejak
saat itu, Belanda selalu berupaya mempertahankan produksi cengkeh di Maluku
agar harga jualnya tidak turun atau menjadi rendah khususnya di Eropa sebagai
pasar utama komoditi rempah-rempah. Bahkan, Belanda melanjutkan ekspedisi Hongietochten (kebijakan patroli
pelayaran untuk tidak menjual hasil produksi selain kepada VOC) agar
keseimbangan produksi cengkeh tetap bertahan.
Awalnya,
cengkeh hanya tumbuh di 5 pulau kecil di Kepulauan Maluku, kemudian, mulai menyebar
ke wilayah lainnya di Indonesia termasuk Tolitoli. Di luar dugaan, populasi
cengkeh di Tolitoli sangat mengejutkan. Penanaman cengkeh di daerah ini selain
menggunakan bibit-bibit dari pemerintah juga masih menggunakan bibit yang di
tanam oleh Y.H.L. Tantontos (1934) dan E. Tabang-Kanasang (1950).
Naik Turunnya Produksi Cengkeh
Pada
tahun 1982, jumlah cengkeh di Tolitoli pun mencapai sepuluh juta pohon lebih
dan dalam beberapa tahun berikutnya tolitoli menjadi penghasil cengkeh utama di
Indonesia. Walaupun bibit-bibit cengkeh yang di tanam di daerah ini tidak
banyak berbeda dengan daerah lain, namun tanaman cengkeh di Tolitoli memiliki
spesifikasi tersendiri, diantaranya bisa
panen dua kali dalam setahun. Tolitoli sendiri hingga tahun1970 hampir 90%
daerahnya masih merupakan hutan dan rawa-rawa yang menjadi tantangan berat
untuk pengembangan ibukota kabupaten kala itu, sehingga pemerintah daerah
mengambil inisiatif dan berkreasi di tengah-tengah bergelimangnya air rawa
serta lebatnya semak belukar. Pemerintah daerah Tolitoli kala itu juga mulai
mengawasi daerah yang menjadi lahan cengkeh karena banyak masyarakat membuka
lahan baru dengan membabat gundul hutan dan rawa, akibatnya terjadi banjir
besar yang mengakibatkan ibukota Tolitoli turut menerima dampaknya.
![]() |
Tugu Cengkeh di Kota Tolitoli |
Kabupaten
Tolitoli yang mempunyai wilayah seluas 4.079,77 km², berada dalam 10 wilayah
kecamatan yang terletak pada ketinggian 0-2.500 meter di atas permukaan laut.
Kondisi ini merupakan salah satu potensi pengembangan komoditas cengkeh di
Kabupaten Tolitoli. Jumlah keseluruhan luas lahan yang ada di Kabupaten
Tolitoli tersebut dikatakan cukup luas dan mempunyai potensi yang sangat besar
yakni 37.720 ha dan tingkat produktivitas sebesar 10.271 ton/ha sehingga
pembudidayaan tanaman cengkeh menjadi salah satu sumber pendapatan sebagian
besar penduduk di kabupaten ini. Pada tahun 2002 Tolitoli menghasilkan 6.328
Ton cengkeh, Tahun 2003 menghasilkan 1582 Ton, Lalu Tahun 2004 menghasilkan
sekitar 1.604 Ton. Tahun 2005 sebanyak 2.245 Ton dan 2006 tetap tinggi yakni
2.133 Ton. Dari kaki Panasakan samapai ke kaki Gunung Tuweley sekitar 28.000
hektar, terhampar perkebunan cengkeh.
Namun
di awal tahun 2020, harga cengkeh pun anjlok membuat sejumlah petani menjerit.
Harga cengkeh yang menjadi primadona hanya berada pada kisaran Rp. 59.000/kg.
padahal di tahun sebelumnya berada di harga Rp. 86.000/kg. Tentunya penurunan
berdampak pada pengeluaran petani selama proses panen. Beberapa petani
Bahkan
menduga ada permainan dari oknum pengusaha dalam mengatur harga cengkeh
tersebut. Tentunya, jika pemerintah tidak mengantisipasi gejolak harga
cengkeh yang terus mengalami penurunan, akan berpengaruh pada tingkat
pendapatan petani. Kondisi ini akan membuat petani terpaksa menjual hasil
perkebunannya untuk memenuhi kebutuhan hidup di tengah pandemi. Cukup ironis
bukan? Daerah yang dikenal sebagai Kota Cengkeh dan menjadi komoditas andalan, justru
kesejahteraan petaninya masih minim perhatian.
Referensi :
- Arsip Daerah Propinsi Sulawesi Tengah. 2000. Kabupaten Tolitoli, Profil dan Data. Badan Perpustakaan Daerah
Propinsi Sulawesi Tengah.
- Marding, dkk. 2020. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Cengkeh di Tolitoli. Palu. Universitas Tadulako.
- Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
- Tim Peneliti dan Penyusun Data Daerah. 1996. Profil Buol Tolitoli. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar